Pukul sembilan pagi, Archana menerima pesan dari Dev yang mengingatkan dirinya untuk sarapan sebelum pergi meninggalkan hotel. Dev juga mengingatkan Archana untuk memeriksa keadaan Aman pagi ini, karena ia sudah check out lebih dulu untuk mengurus keperluan lainnya. Archana hanya membalas pesan itu dengan tiga kata, "Baiklah. Terima kasih."
Saat Archana membuka pintu kamarnya, saat itu juga Aman keluar dari kamarnya. Mereka bertemu di ambang pintu dan terkekeh dengan kebetulan ini.
"Selamat pagi," sapa Archana sambil mengunci pintu kamarnya. Seutas senyum kembali menghiasi wajahnya setelah tadi cukup terkejut dengan penampakan Aman di waktu yang bersamaan ketika dirinya keluar dari kamar.
"Pagi juga, Archana," balas Aman seraya menunjukkan lesung pipinya. "Aku...baru saja ingin mengundangmu untuk sarapan."
"Oh ya? Aku juga. Kalau begitu, ayo," ajak Archana.
Aman mempersilakan Archana berjalan lebih dulu. Wanita berbaju hitam dengan celana skinny jeans navy itu berjalan tegak di depannya. Sejenak ia berpikir, mengingat kejadian malam sebelumnya. Archana benar-benar membuatnya lebih baik, setidaknya itu yang ia rasakan. Suaranya halus dan menenangkan, tatapannya tajam namun penuh binar-binar kasih yang teduh, yang dapat merengkuh sesuatu di dalam dirinya, sentuhannya selembut bulu yang menyenangkan.
***
Untungnya, restoran terletak di lantai yang sama dengan kamar mereka. Ada dua baris buffet di sisi kanan dan kiri. Masing-masing berisi beberapa hidangan sarapan pagi yang disajikan untuk para tamu hotel. Archana dan Aman memilih untuk mengambil dua lembar naan dan butter chicken secukupnya. Archana juga mengambil satu gelas air mineral dan chai, lalu Aman mengikutinya. Mereka menempati sebuah meja kosong di bagian luar restoran, sebuah balkon yang menghadap laut lepas.
"Kau sudah lebih baik?" ujar Archana membuka percakapan ketika ia merobek naan pertamanya. Aman mengawali sarapannya dengan meminum air mineralnya terlebih dahulu. Ia menaikkan kedua alisnya setelah mendengar pertanyaan Archana.
"Aku jauh lebih baik setelah beristirahat panjang semalaman," jawabnya seraya terkekeh dan meletakkan gelasnya kembali di atas meja.
"Syukurlah, aku lega mendengarnya," Archana menyahut sambil mengunyah naan di dalam mulutnya.
Aman terkikik pelan, "Hey, habiskan dulu naan yang ada di dalam mulutmu, baru bicara." Mendengar itu, Archana berhenti mengunyah dan matanya melebar. Lalu ia melanjutkan kegiatannya sebelum membalas ucapan Aman.
"Hehe, maaf, aku membawa kebiasaan burukku."
"Bukan masalah. Kau persis seperti adikku, kebiasaan kalian sama," ejek Aman.
"Oh ya? Wah aku tidak sendirian," Archana merespons seraya menggerakkan bahunya. Tidak lama kemudian, ponselnya berdering.
Ibu.
Archana meminta izin pada Aman untuk menjawab teleponnya. Aman mengangguk dan sedikit tertawa.
"Selamat pagi, Ibu."
"Aku sedang sarapan, setelah ini aku pulang."
"Tidak, aku bersama temanku." Pandangan Archana mengarah pada pria yang duduk tepat di seberangnya. Sepasang bola mata cokelat itu menyambut pandangannya dan si pemiliknya menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan senyum yang mengagumkan.
"Priya pergi bersama teman-temannya?"
"Ya, baiklah. Ibu ingin kubelikan sesuatu?"
"Hmm, oke. Sampai jumpa."
"Ibumu?" tanya Aman setelah Archana memutus teleponnya. Archana mengangguk dan melanjutkan sarapannya.
"Dan Priya?"
"Priya adalah adikku. Kami dua bersaudara."
"Wah, kita sama. Aku punya satu adik, perempuan."
"Benarkah? Siapa namanya?"
"Choti Rani."
"Choti Rani?! Sungguh? Itu namanya?" Archana terbelalak dan mulai tertawa.
"Itu panggilanku untuknya," jawab Aman yang ikut tertawa seperti Archana. "Kau ingin tahu namanya?"
"Hmm, kurasa aku tidak perlu. Aku menyukai nama panggilannya darimu. Sangat lucu, choti rani," ujar Archana tanpa menghentikan tawa kecilnya.
Mereka lanjut menikmati sarapan sambil berbincang ringan. Jiwa sosial Archana memang tinggi, tapi biasanya tidak semudah ini untuk akrab dengan orang asing, membicarakan kehidupan, pekerjaan, dan lain-lain. Aman menceritakan bahwa dirinya adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit besar di Mumbai. Sehari-hari bertemu dengan para pasien dengan keluhan yang beragam. Mungkin profesi dokter adalah sesuatu yang luar biasa bagi sebagian orang. Memang luar biasa. Tekanan yang ada di baliknya pun luar biasa.
"Pasti menyenangkan berada di sekolah. Bertemu anak-anak yang polos dan menemani mereka bermain di ruang terbuka. Tidak seperti di rumah sakit. Baunya saja sudah membuat orang merasa pusing," ujar Aman di sela-sela perbincangan mereka.
Aman tahu betul bagaimana rasanya kehilangan orang terpenting dalam hidupnya di atas meja operasi di ruangan yang dingin. Kehilangan yang ia sebabkan karena tangannya sendiri. Trauma yang cukup hebat baginya hingga ia menarik diri selama beberapa tahun dari ruangan terkutuk itu. Tidak hanya itu, hatinya pun berat dan resah akan rasa bersalah pada adiknya. Aman pikir, semua karena dirinya, karena dirinya, orang tua mereka tidak terselamatkan.
Archana menatap Aman dengan nanar. Sorot matanya yang penuh kasih seakan menunjukkan bahwa ia ingin sekali menarik pria itu ke dalam dekapannya. Namun, yang bisa ia lakukan hanya tersenyum getir dan bicara dengan suara yang pelan, tapi bisa didengar oleh Aman.
"Pasti sangat berat bagimu. Tapi kau sudah bertahan hingga sejauh ini, sungguh luar biasa. Terima kasih ya."
Aman membalas senyuman Archana dengan sebuah tawa kecil menyedihkan, "Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Dan terima kasih atas afirmasimu. Aku tersentuh."
"Bagaimana aku tidak khawatir setelah melihat semua yang disampaikan oleh kedua matamu dan mengetahui kisahmu, bodoh?" pikir Archana.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...