"Priya, aku pulang. Pizzanya kuletakkan di meja makan. Aku akan turun setelah bebersih," kata Archana di depan pintu kamar Priya.
"Ya, Kak," sahut Priya dari dalam kamarnya.
Archana bergegas pergi ke kamarnya untuk menyegarkan diri. Dua puluh menit kemudian, ia terlihat menuruni tangga dengan ponsel di tangannya dan menuju menoleh ke meja makan. Priya belum ada di sana dan pizzanya masih terbungkus rapi di dalam kardus ceper yang cukup besar. Ia segera menghampiri kamar Priya. Ketika hendak mengetuk pintunya, Priya membukanya lebih dulu dan mereka sama-sama terkejut.
"Ya Tuhan!" seru mereka bersamaan.
"Kakak, kau ini bikin kaget saja. Harusnya ketuk pintu dulu," oceh Priya sambil sedikit cemberut.
Mata Archana terbuka lebar. "Kenapa kau menyalahkanku? Aku baru saja ingin mengetuk pintu, tiba-tiba kau muncul. Untung saja tidak jadi, kalau tidak, yang aku ketuk malah keningmu, bukan pintu ini," balas Archana sembari memberikan sentilan kecil di dahi Priya. Mereka tertawa.
"Ayo. Pizzanya pasti sudah dingin," kata Archana, merangkul bahu Priya.
"Kakak tunggu di sini saja. Biar kuhangatkan pizzanya sebentar."
"Kita makan di ruang tengah?"
"Apa salahnya? Aku bosan makan di ruang makan." Priya melangkah pergi, sementara Archana hanya terkekeh dan merebahkan dirinya di sofa panjang sambil menyalakan televisi.
Tidak sampai setengah jam, Priya kembali membawa sebuah piring besar berisi pizza-pizza yang bertabur daging asap dan sosis serta keju mozzarella.
"Terima kasih," kata Archana.
Mereka berbincang kecil sambil menikmati pizza yang dibeli Archana. Sesekali dua bersaudara itu saling mengejek. Archana menceritakan suasana Diwali di rumah Radha kala itu. Ia juga memberi tahu Priya bahwa Aman adalah kakak Radha. Priya terkejut. Raut wajahnya yang ceria berubah menjadi sedikit murung. Entah kenapa ia seperti tidak begitu menyukai Aman, bahkan mendengar namanya saja membuatnya malas. Namun, Archana tidak menghentikan kisahnya. Ia terus bercerita hingga tentang Aman yang menyendiri di halaman rumahnya. Hanya sampai di situ, karena Priya memotong ucapan Archana ketika ia hendak melanjutkan ceritanya.
"Kakak menyukainya?" tanya Priya dengan sedikit ketus. Archana membulatkan matanya, berhenti mengunyah pizzanya dan menelannya perlahan. Matanya berkedip sekali dan ia menghela napas.
"Priya, aku-" belum selesai Archana bicara, Priya memotong pembicaraannya.
"Bagaimana bisa kau menyukai orang yang sudah memisahkan kita dengan Ibu?"
Archana tercekat. Ia marah sekaligus bingung. Kenapa Priya bisa bicara seperti itu? Archana masih terdiam sementara Priya terus mendesaknya untuk menjawab pertanyaannya.
"Bagaimana aku bisa menjawab kalau kau tidak berhenti bicara?" ujar Archana dengan nada suara yang sedikit naik. Priya sedikit kaget. Suara Archana hanya berbicara seperti itu ketika ia sedang marah atau kecewa. Priya terdiam dan berpikir apakah ia baru saja menyakiti hati Archana?
"Boleh aku bicara sekarang?" tanya Archana dengan suara yang mulai turun yang disambut anggukan pelan dari Priya.
"Pertama, aku perhatikan gelagatmu berubah setelah aku menyebut nama Aman. Kedua, kau bertanya apa aku menyukainya dengan nada yang ketus. Ketiga, kau menyebutnya orang yang memisahkan kita dengan Ibu. Kau ini kenapa? Tidak menyukainya? Terserah. Tapi perlu kau ingat. Tidak ada seorang dokter yang ingin gagal dalam menangani pasien. Aman telah berusaha menyelamatkan Ibu. Ada sesuatu tentangnya yang tidak kau ketahui, Priya. Sesuatu yang jauh lebih berat dari yang kita alami. Aku tidak akan memberi tahumu, karena itu bukan hakku. Untuk menjawab pertanyaanmu tentang ketertarikanku padanya, jujur, aku tidak tahu. Namun, aku tahu satu hal. Aku melihat diriku di dalam matanya. Aku yakin kau mengerti maksudku," jelas Archana panjang lebar.
Priya merenung. Wajahnya memerah, entah menahan kesal dan amarah atau menahan malu atau bahkan menahan tangis. Archana melayangkan pandangannya ke setiap sisi yang bisa ia jangkau dari tempat duduknya sampai ia menghentikan pandangannya di pintu kamar Parvati dan menghela napas berat.
"Apapun yang kau pikirkan tentang Aman, itu terserah padamu. Aku sudah menjelaskan dan tidak mau membahasnya lagi. Istirahatlah," kata Archana seraya beranjak dari duduknya dan melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
Sesaat setelah ia membersihkan diri dan berbaring di atas ranjangnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Priya.
"Maaf kalau perkataanku tadi membuatmu tersinggung. Tapi, aku tidak akan bicara padamu sampai kau tidak lagi dekat dengannya. Sudah cukup aku kehilangan Ibu dan berada jauh dari Ayah. Aku tidak mau jauh darimu juga. Jadi kumohon, jauhi dia."
Archana menghela napas berat. "Anak ini!" dengusnya. Ia memijit-mijit keningnya pelan sambil mengistirahatkan matanya.
Kejadian pada malam Diwali di rumah Radha berputar di dalam ingatannya. Mulai dari tidak sengaja bertabrakan dengan Aman yang ternyata adalah kakak Radha, mendengarkan alasan Dev menghilang ketika ia membutuhkannya, menemukan Aman merenung di taman belakang, menemaninya berbincang hingga ia pergi meninggalkan Aman sendirian. Kata-kata Aman ketika ia meminta Archana pergi pun kembali terngiang di telinganya. Begitu kuat suara itu meminta Archana pergi, tapi kerapuhan jiwanya sangat jelas bisa dirasakan oleh Archana.
"Belum apa-apa, sudah seperti ini. Aku harus bagaimana?" pikir Archana.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...