05. Ancaman

3.6K 387 42
                                    

Sejak pertama kali Biru bertemu dengan Awan kala Sandi mengenalkan kedua orang baru itu- Entah kenapa Biru bisa merasakan bahwa Awan tidak asing baginya. Entah perasaan apa dibalik bencinya Biru yang terkadang membuat dirinya merasa lebih dekat dengan Awan. Jika boleh jujur, ketika dirinya melihat Awan tumbang didepan matanya beberapa saat lalu- detak jantung didalam sana benar-benar hilang kendali. Padahal, Biru sering sekali melihat Awan jatuh sakit jika dirumah. Tapi entah kenapa melihat Awan pingsan didepan matanya membuat perasaan cemas itu tidak bisa ia pungkiri. Bahkan, sekarang kedua netra Biru tidak bisa lepas dari sosok yang masih terbaring dengan wajah pucatnya.

"Ditunggu aja dulu ya Mas. Nanti kalau sudah bangun bisa panggil saya," ujar petugas kesehatan.

Biru hanya mengangguk. Tidak peduli dengan petugas yang sudah hilang dibalik pintu.

"Dasar bodoh! Coba kalau nggak ada gue, gimana nasib lo dikota orang, huh? Bisa-bisa jadi gembel lo," gerutu Biru tanpa berniat memelankan suaranya.

Tidak butuh waktu lama ketika sunyi ruangan itu direnggut oleh dering telepon dari saku celana Biru. Detik setelahnya, Biru menepuk jidatnya. Sial, kenapa bisa lupa mengabari orang sekolah jika dirinya hari ini tidak masuk.

"Lo dimana njir? Bolos nggak ajak-ajak lagi. Kalau tahu gini gue nggak masuk aja tadi. Bosen gue ditanyain sana sini 'Ngga, Biru kemana?' 'Kamu tahu Biru dimana nggak? Saya dari tadi nyariin kok nggak ada 'Eh, Ngga Biru mana? Tumben nggak sama lo?' 'Ngga lo tahu-"

Tut

"Berisik!" ujar Biru yang langsung melempar HP nya diatas nakas.

Sedang disana, ada Rangga yang mengumpat berulangkali. Belum juga selesai bicara, sudah asal dimatikan. Padahal usaha menelpon Biru sedari pagi tadi saja baru diangkat kali ini. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga kembali memanggil nomor Biru. Butuh beberapa deringan sampai suara Birulah yang pertama kali menyembur.

"Gue ijin bukan bolos! Nggak usah banyak bacot! Lewat WA aja kalau ada yang mau lo omongin."

Tut

"Anjing nih anak nggak punya sopan santun apa ya?! Main matiin gitu aja. Gue belum juga ngomong. Bangsat emang si Biru," gerutu Rangga sembari menendang kaleng yang ada didepannya.

Ruang putih tulang itu kembali sunyi. Dengan Biru yang mulai memikirkan semuanya. Tentang keberadaan Ayah Awan yang selama ini entah kemana. Namun, lamunannya itu tak lama buyar ketika erangan kecil dari mulut Awan mengalihkan atensinya.

"Eeughhh..."

Silau cahaya yang menerobos masuk itu membuat kedua kelopak mata Awan kembali meutup. Lantas mengerjap pelan sebelum terbuka sempurna. Dan detik setelah anak itu menangkap kehadiran sosok manusia disebelahnya- Awan spontan mengernyit. Mengucek kedua matanya agar apa yang ia lihat sekarang bukanlah sekadar halusinasi.

"I-ini Biru? "

Decakan jengah yang keluar dari mulut Biru membuat Awan yakin. Apa yang dilihatnya sekarang ini memanglah Biru. Tapi, kenapa Abangnya itu ada disini?

"Lo ngapain disini? Kok- bisa, lo ngikutin gue ya?"

Awan merasakan pening dikepalanya saat hendak duduk. Namun tanpa disangka, Biru dengan sigap membantunya untuk duduk bersandar bantal yang ia tata. Ah- apa dia masih dalam keadaan pingsan sampai bisa berhalusinasi kalau apa yang ada didepannya ini memanglah Biru?

"Ru, ini lo kan? Jangan diem aja yaelah! Ngomong kek, jawab!"

"Kalau bukan gue siapa lagi, huh?! Emang gue punya kembaran?!" ngegas Biru.

"Y-ya tapi kenapa lo ada disini? Lo ngikutin gue?"

"Menurut lo?!" sarkas Biru yang lantas beranjak. Meninggalkan Awan yang meneriakinya sampai hilang ditelan pintu.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang