Baginya, hidup hanyalah sebuah perjalanan menapaki duri-duri luka yang siap menyambut langkahnya. Ia sadar, dunianya tidak lagi bersinar semenjak Mama pergi dalam dekapan bumi. Semuanya ikut terkubur bersama jasad Mama kala itu. Senyum tulusnya, tawanya, bahkan tujuan hidup sekali pun lenyap detik itu. Saat dengan mata kepalanya sendiri, melihat bagaimana tubuh Mama yang berbalut kain putih itu perlahan tertimbun tanah.
Hancur. Hampa. Sepi. Setelahnya, ia tidak benar-benar merasa hidup.
Disaat ia hanya memiliki sosok Ayah, mempercayakan semuanya kepada laki-laki itu- namun lagi dan lagi semesta mematahkan harapan terakhir yang ia genggam. Sosok itu berhasil membuatnya kecewa disaat ia mencoba tak menyalahkan Ayah yang membuat Mama pergi dengan amarah yang belum redam. Hingga berakhir mengenaskan.
Menghadirkan sosok Ibu dan saudara baru bukanlah keinginan Biru. Tidak ada sedikit pikiran memiliki keluarga baru setelah kepergian sosok paling berharga dihidupnya. Tidak ada. Namun, Ayah membuatnya patah. Suara yang ia coba gaungkan itu hanya sia-sia. Teredam kembali, kalah oleh ego Ayah. Hingga sampai saat ini, suaranya tak mampu menembus hati Ayah. Tidak ada yang bisa mendengar. Maupun menyembuhkan luka yang telah mengering itu.
"Ayah mau apa?" tanya Biru setelah lama membiarkan hening diantara keduanya. Jujur, sudah lama sekali ia tidak berada dalam satu ruangan bersama Ayah. Menghabiskan waktu berdua seperti dahulu? Jangan mimpi. Itu semua hanya masa lalu bagi Biru. Bisa berdua dikamar inap saat ini saja sebuah keberuntungan.
Ayah menggeleng. Menatap lekat air muka Biru yang terlihat lelah. Sepeninggalan Airin; untuk pulang mengambil baju ganti Sandi membuat atmosfer diruang rawat itu terasa canggung. Bukan hanya Biru yang merasakan, Ayah dari anak itu pun sama.
"Biru," panggil Sandi lirih. Masih menatap dalam kedua netra putranya. Berusaha membaca apa yang anak itu rasakan selama ini. Sungguh Sandi tahu, tahu akan jarak yang selama ini terbentang diantara mereka berdua.
Biru hanya diam, menunggu Sandi yang tak kunjung melanjutkan ucapannya. Sampai menit berganti, suara Sandi kembali mengalun bersama tatap penuh penyesalan yang bisa Biru tangkap. "Maaf."
"Maaf untuk semuanya, Nak," pungkas Sandi.
Biru terdiam. Memilih membuang muka daripada melihat raut penyesalan sang Ayah. Meski suaranya ingin sekali berteriak. Mengeluarkan kesakitan yang selama ini ia rasakan.
"Ayah emang pengecut. Ayah nggak pantas disebut sebagai sosok Ayah. Maaf, maaf udah gagal jadi Ayah yang baik buat Biru. Dan maaf udah bikin Biru kecewa. Ayah benar-benar minta maaf, Nak," ucap Sandi dengan suara purau. Tanpa sadar setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
"Biru boleh maki Ayah sekarang. Keluarin semuanya disini, Ayah bakal dengerin. Asal Biru bisa maafin Ayah. Atau perlu-"
"Kenapa, kenapa baru sekarang Ayah sadar? Kenapa baru sekarang Ayah minta maaf?" potong Biru. Nada bicaranya tenang, pun dengan raut wajahnya. Berbeda dengan sorot matanya yang memancarkan sarat kesakitan.
"Apa Ayah baru sadar kalau Ayah salah? Kenapa Ayah lakuin ini ke Biru. Bahkan, ke Mama."
Kedua tangan Biru meremat kedua celana seragamnya. Menekan kuat-kuat amarah yang selama ini ia simpan agar tak meledak detik itu. Ia masih tahu kondisi meski mungkin ini satu-satu kesempatan yang ia punya. "Apa salah Mama, Yah?"
"Biru hanya ingin tahu satu hal dari mulut Ayah selama ini."
"Kenapa sebelum Mama pergi, kalian selalu berantem setiap hari. Kenapa Ayah selalu bentak-bentak Mama? Kenapa juga Mama harus semarah itu sampai lempar-lempar barang. Sebenarnya apa yang bikin Ayah sama Mama berantem? Apa, Yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...