13. Donor Darah

3.8K 344 18
                                    

Suara sepatu yang beradu dengan lantai itu menyusuri koridor setiap kelas. Langkah cepat yang ia pacu seakan tak menemukan titik tujuan. Hingga beberapa menit setelahnya, kedua netra itu berhasil menangkap satu nyawa yang mencurigakan. Tepat seperti dugaannya.

Belum sempat tangan itu menutup sempurna pintu dihadapan- sebuah tangan mencengkram erat pergelangannya. Dan detik itu, kedua bola mata bak elang bersitatap dengan manik mata Odra yang menyiratkan keterkejutan.

"Bi-biru? Ngapain lo?" ucap Odra sembari menarik tangannya dan menatap sengit Biru.

"Seharusnya gue yang tanya, lo mau apa?"

Tatap dingin yang berhasil menyudutkan lawannya itu membuat Odra gelagapan. Nyalinya yang semula besar tiba-tiba menciut. "Bukan urusan lo! Lagian ngapain disini? Ruang OSIS kan di depan!"

Biru tersenyum miring, maju selangkah di depan Odra. Ia benar-benar tak mengira akan mendapat jawaban secepat ini. Bahkan hanya sekadar melihat gelagat dari kedua bola mata lawan yang bergerak gusar membuatnya yakin seratus persen, bahwa Odra terlibat dalam permainan ini.

"Jadi, lo tahu apa tentang Awan dan ancaman itu, Odra?!"

"H-hah? Ngomong apaan sih lo?! Nggak jelas banget. Udah lah gue cabut."

Selangkah kaki itu harus terhenti kala pernyataan yang keluar dari mulut Biru berhasil membungkam telak ketenangannya.

"Sabotase lampu panggung, itu lo kan pelakunya."

"Ah- lebih tepatnya, lo sama guru itu yang mau bikin Awan celaka," pungkasnya.

Odra berbalik, menampilkan senyum liciknya. Ternyata Biru tidak sepintar yang ia kira. "Oh, ternyata lo udah tahu ya. Oke, kayaknya permainan makin seru nih kalau lo ikut."

"Mau lo apa?"

"Biru, Biru...Lo tuh aneh ya. Seharusnya lo itu gabung sama gue, bukannya lo sendiri yang selalu bilang kalau benci banget sama Awan? Gara-gara dia dan wanita jalang itu hidup lo jadi hancur, kan? Dan udah rebut kasih sayang bokap lo. Makanya ayo gue ajak musnahin mereka, gimana?"

Biru mengepalkan tangannya erat, rahangnya mengeras tanpa sadar. Ia tak tahu harus seperti apa menanggapi ucapan Odra. Jujur, perkataan itu memang benar adanya. Tetapi untuk mendengar tawaran Odra bergabung membuat Awan celaka bahkan musnah itu sedikit ada penolakan didalam hatinya. Iya ia akui rasa benci itu ada, tapi tidak dengan cara selicik itu. Biru bahkan sempat bingung dengan remaja di hadapannya ini, kenapa seniat itu membenci Awan? Padahal yang menjadi korban disini ia, bukannya Odra.

"Kalau lo nggak mau yaudah. Jangan ikut campur lagi, Ru."

"Tutup mulut dan mata lo. Biar gue yang urus," pungkasnya sembari menepuk nepuk lengan Biru.

Jika Biru tidak bodoh, Odra yakin anak itu berhenti sampai disini. Tidak akan lagi menggagalkan rencananya bahkan sampai terdengar ditelinga orang banyak. Apalagi sampai guru itu tahu bahwa Biru mengetahui rencana mereka, bisa-bisa Odra yang akan kena amarahnya.

"Apa yang mau lo rencanain?"

"Peduli apa kalau gue kasih tahu sih, Ru? Emang lo mau bantuin?"

"Jawab aja!"

"Banyak sih rencana-rencana yang udah gue susun."

Keduanya cukup lama diam. Odra yang menunggu reaksi balik lawannya yang tetap diam itu kembali mendekatkam diri disamping tubuh Biru. Lantas membisikkan beberapa patah kata yang entah kenapa sulit sekali Biru jawab. "Kenapa, lo beneran mau bantuin? Sekali kali bikin dia hancur ditangan lo sendiri."

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang