23. Rumit

3.7K 457 89
                                    

Seandainya, dulu Ayah tidak melakukan satu kesalahan yang sangat besar itu- mungkin semuanya akan baik-baik saja. Keluarga kecilnya akan tetap bahagia seperti pada seharusnya. Tidak perlu ada luka yang ikut andil dalam sebuah pendewasaan. Tidak perlu ada hati yang tersakiti. Meski nyatanya, takdir lebih dulu menuliskan tintanya untuk setiap yang bernyawa. Memilih pundak keluarga itu untuk menjalani. Dan cukup menerima. Namun, kata menerima yang seharusnya ada ternyata tak semudah yang diucapkan. Seolah teredam sakit yang teramat dalam. Hingga kata demi kata yang terucap akan kebenaran itu kembali terngiang. Seakan mengolok dirinya yang terlihat bodoh, tanpa tahu takdir berjalan seperti apa.

Namun, ramai dalam kepalanya itu seolah timbul tenggelam. Berganti dengan penuturan Dokter laki-laki yang baru saja keluar dari ruang disana. Meninggalkannya berdua bersama sosok yang masih nyaman dalam pejamnya.

"Dari hasil pemeriksaan, menurut saya pasien mengalami retak tulang rusuk. Melihat bagaimana lebam yang sangat parah dibagian dadanya. Meski begitu saya tidak bisa memastikan sebelum melakukan CT scan. Lebih baik setelah ini dibawa ke rumah sakit."

"Sebelum itu, untuk mengurangi rasa sakitnya saya beri obat pereda nyeri. Tolong diminum setelah makan. Dan kompres dadanya dengan air es ya."

Kalimat panjang itu seperti melodi yang terus mengalun. Membawa ingatannya kembali kepada kejadian beberapa hari lalu. Waktu ketika luka lebam itu- Awan terima.

Tangan yang hendak memmbuka kancing seragam itu seketika terhenti kala suara pintu terbuka. Menampakkan sosok Jessy bersama baskom berisi air dingin.

"Belum sadar juga?"

Biru hanya bisa menggeleng. Sudah hampir setengah jam berlalu, dan kedua kelopak mata itu masih enggan terbuka.

"Eh- mau kemana?" tanya Jessy sesaat melihat Biru yang hendak beranjak.

"Keluar."

"Loh enak aja, ini kompres nya gimana?"

"Ya tinggal dikompres." Detik itu kedua bola mata Jessy mendelik tajam. Memandang Biru yang menampakkan wajah datarnya tanpa beban.

"Jangan bilang lo suruh gue yang kompresin, gitu?"

"Enak aja! Gue nggak mau mata suci ini ternodai ya! Lo aja, nih! Dia kan adek lo," lanjut Jessy sembari menyodorkan baskom dengan sapu tangan.

Sejenak, Biru hanya memandangi tanpa berniat mengambil. Namun detik ketika sepasang netranya menangkap bagaimana dada itu masih saja naik turun tak beraturan, juga napas yang terdengar berat meski terbantu nasal canul- membuat tangannya segera menerima.

"Kalau gitu gue cari Pak Hery dulu, ya. Dari tadi nggak nongol tuh guru. Nggak tahu kita lagi repot gini apa ya," gerutu Jessy di sela-sela langkahnya. Meninggalkan Biru yang mulai membuka satu persatu kancing seragam Awan.

Jujur, Biru pernah berpikir; jika saja anak di depannya itu tidak lahir kedunia ini, mungkin hidupnya yang semula baik-baik saja tidak akan rumit seperti sekarang.

"Kenapa lo harus lahir?"

Lirih suara yang hampir seperti bisikan itu mengalun senada embusan angin yang masuk melewati jendela. Membungkam sunyi dalam dingin menyesakkan setiap menatap wajah damai yang terlelap itu. Bayangan-bayangan masa lalu yang belum sepenuhnya hilang itu seolah kembali dibangkitkan.

Hawa dingin dari kain itu perlahan merambat kepermukaan kulit. Seakan menambah nyeri yang datang dari dalam sana. Juga gemuruh tak beraturan itu siap menghancurkan perasaannya yang belum tertata rapi. Menambah sesak itu semakin nyata.

"Harusnya...lo nggak perlu ada," ungkap Biru. Namun, ketika netranya menatap wajah sang empu- tubuhnya detik itu menegang. Bersama denyut jantung yang tak seirama beradu bersama lirih suara yang mengalun setelahnya.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang