29. Berharap Sekadar Mimpi

4.1K 375 30
                                    

⚠️Buat part kemarin ada typo nama, yang bicara sama Bisma itu Tera, bukan Tian. Tapi yang part akhir, itu emang manggil Tian⚠️

)(

Selalu ada harapan baru untuk memulai semua dari awal. Memperbaiki apa yang sebelumnya rusak. Namun, kali ini semesta seperti enggan mengabulkan keinginan sederhana itu. Nyatanya, lagi dan lagi semesta punya banyak cara untuk memberinya luka.

Dipenghujung senja sore ini, dibawah cakrawala dengan warna jingganya yang elok, punggung ringkih pemuda itu kembali luruh. Luruh dalam dekap kenyataan yang memberinya sebuah luka.

Cukup lama hening menemani, membiarkan dersik angin juga kicauan burung menjadi suara utama. Hingga untuk pertama kalinya, yang lebih tua bersuara.

"Jangan diam aja, Awan. Gue bisa jelasin."

Tidak ada jawaban, anak itu memilih bungkam dengan pandangan kosong. Menatap ukiran nama diatas nisan tanpa pernah mengalihkan pandangnya. Hal yang mampu merenggut ketenangan Biru selama mereka bersimpuh disebelah makam Airin.

Ternyata, diamnya Awan lebih menakutkan daripada apa yang ia bayangkan.

Cukup lama tidak mendapat respon, Biru kembali bersuara. Menjelaskan tanpa anak itu minta.

"Ayah sama Bunda lo kecelakaan malam itu."

"Ayah selamat, tapi Bunda lo..." Napas Biru tercekat, tak sanggup meneruskan kalimatnya. Hingga detik demi detik berlalu tanpa sepatah kata. Keduanya sama-sama diam.

Biru tidak pernah tahu apa isi pikiran manusia disebelahnya. Ia juga tidak pandai membangun pembicaraan. Tidak tahu harus berbicara apalagi. Yang Biru kira, Awan akan histeris, tetapi dugaannya salah. Diamnya Awan seakan menjelaskan bagaimana rasa sakit itu sudah tidak mampu lagi untuk dijelaskan. Bahkan, air mata pun enggan keluar. Mengering sebelum mampu mengeluarkan tangisnya. Menyakiti lebih dalam daripada seharusnya.

"Awan," panggil Biru sembari meremat pundak Awan. Seolah menyalurkan kekuatan sebisa yang ia punya. Detik kemudian, rengkuhan erat Biru berikan. Memberi hangat pada sosok yang kini memejamkan matanya erat. Mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tidak mampu mengeluarkan sepatah kata, Awan hanya bisa menggeleng pelan dibalik punggung Biru.

"Lo kuat," bisik Biru.

Awan menggeleng, membantah ucapan itu. Dirinya selalu membenci kata kuat yang keluar dari mulut orang lain. Kenapa? Kenapa mereka mengatakan hal yang bahkan Awan sendiri tidak pernah mengakui bahwa dirinya sekuat itu. Tidak, Awan tidak pernah merasa menjadi kuat. Jika memang benar adanya, kenapa dirinya mempunyai penyakit mental? Yang bahkan hampir membuatnya menjadi gila.

"Tolong bilang kalau ini mimpi," lirih suara itu melebur bersama dersik angin yang berembus. Membuat pelukan yang Biru beri semakin ia eratkan.

"Lo nggak mimpi. Ini nyata."

"Ini mimpi. Cuma mimpi. Lo yang bohong!"

"Enggak, gue nggak bohong Awan. Please, ikhlas ya. Lo nggak sendiri, ingat itukan?"

Satu dorongan kuat Awan berikan sampai Biru terduduk ditanah. Sorot dari netra yang semula kosong itu berubah tajam. Wajahnya pun mengeras dengan kepalan tangan dikedua sisi tubuhnya.

"Lo bohong! Ini bukan makam bunda. Lo bohong Biru!" Lirih suara penuh penekanan itu mengalun dari belah bibir Awan. Tangannya yang semula mengepal kini berganti mendarat dikepalanya. Memukul berulang hingga menimbulkan suara, yang setelahnya Biru hentikan dengan memegang kedua tangan Awan erat.

"Jangan kayak gini, Awan. Lo nggak lagi mimpi!"

"Bangunin gue, Ru. Please! Ini cuma mimpi. Gue cuma mimpi! Bunda masih hidup, Bunda nggak mungkin tinggalin gue disini sendiri, kan?!"

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang