15. Firasat Buruk

3.3K 363 32
                                    

Niat awal ingin segera mengisi perut yang terus berbunyi. Meninggalkan Nata dikelas, masih sibuk menyalin catatan miliknya yang harus dikumpulkan nanti sepulang sekolah. Namun niatnya seketika urung kala sebuah suara menghentikan langkahnya yang kurang beberapa meter mencapai pintu kantin.  "Awan!"

Pria berkacamata itu tersenyum setelah berada didepan anak didiknya. "Iya, Pak?"

"Kamu lagi sibuk, nggak?" Sejenak Awan berpikir. Tidak sibuk, sih. Tapi cacing diperutnya seakan berteriak meminta untuk segera diberi makan. "Awan, bagaimana?"

"Ah- emm nggak lagi sibuk, sih, Pak. Emang ada apa, ya?"

"Gini, Bapak tadikan tanya sama Pak Joko, soal-soal olimpiade Matematika yang kemarin ditaruh dimana. Terus beliau bilang disimpan di ruang perpustakaan yang lama. Bapak jadi nggak enak kalau masuk kesana sendirian, disini kan Bapak juga orang baru. Jadi, bisa nggak kamu temenin Bapak cari soal-soalnya?"

"Oh, bisa kok Pak. Perpustakaan lama ada dibelakang tempatnya, nanti biar aku minta kunci sama Pak Hendri dulu, ya Pak. Kalau nggak biar saya aja yang cariin," balas Awan dengan seulas senyum.

"Loh, beneran nggak apa-apa kamu cari sendiri?"

"Iya, Pak. Nggak apa-apa kok, santai aja."

"Makasih banget ya, Awan. Kamu bawa waktu latihan pulang sekolah nanti aja ya sekalian."

"Siap Pak!"

"Kalau gitu saya ke ruang guru dulu."

Sepeninggalan pria paruh baya itu- Awan menghela napas pasrah. Membawa langkahnya berbalik arah. "Tahan sebentar ya, cing. Jangan bunyi terus, malu kalau kedengeran."

)(

Indra ciumnya merespon cepat ketika baru saja langkahnya ia bawa masuk kedalam ruangan yang penuh debu itu. Perpustakaan lama memang sudah satu tahun tak terpakai. Beralih menjadi gudang buku-buku maupun berkas sekolah yang tak perlu tersimpan. Sudah mirip gudang jika dilihat lebih dalam. Keadaan buku-buku yang tak tertata itu membuat kepala Awan tiba-tiba berdenyut.

"Kalau tahu gini tadi gue nggak ngajuin diri sendiri buat cari, tck! Sial banget, sih. Udah mana laper kelewatan nih, perut."

Yang membuat Awan lega adalah lampu disana masih berfungsi. Membuat sekitar tak seseram yang ia pikirkan. Kalau tidak, mungkin pikiran-pikiran negatif itu kembali muncul seenak jidat. "Mulai dari mana, ya?"

"Semangat Awan! Keburu jam istirahat selesai," lanjutnya yang lantas mengobrak abrik rak besar didepannya.

Dilain sisi, kedua alis Biru mengernyit heran ketika tahu orang yang ia buntuti masuk kedalam perpustakaan lama. Bertanya tanya apa yang kedua orang tadi bicarakan hingga remaja itu berakhir disini. Namun, tanpa tahu langkah yang semula ingin menjauh dari sana- ia bawa masuk ke dalam ruangan yang pintunya terbuka setengah itu.

Pandangannya mengedar. Belum sempat meneliti seluruh ruangan itu- suara pintu terkunci membuatnya menoleh kebelakang dengan cepat. "Shit!"

"Buka! Siapa lo? Buka nggak pintunya?! Jangan main-main!" teriak Biru sembari menggedor brutal pintu kayu itu.

"Loh, Biru? Ngapain lo disini?" tanya Awan yang menyebulkan kepalanya dari balik rak buku. Belum sepenuhnya sadar raut wajah Biru yang sudah tak bersahabat itu.

Lagi, Biru menggedor sembari memutar knop pintu-  yang pada akhirnya hanya berakhir sia-sia. Jadi, memang benar ada yang sengaja mengunci dari luar?

"Kenapa, Ru?" tanya Awan sesantai ia berjalan mendekati Biru. Sedang sang empu sudah mengepalkan tangannya tanpa sadar. Juga rahangnya yang tiba-tiba mengeras.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang