25. Berdamai?

3.6K 436 60
                                    

Mata yang semula terpejam kini terbuka sempurna bersama napasnya yang naik turun tak beraturan. Peluh membajiri wajahnya yang nampak pucat pasi. Kedua bola mata yang belum menemukan fokusnya itu mengedar keseluruh ruangan. Ruangan yang sangat ia kenali, kamarnya sendiri. Namun, ketika kilasan kejadian beberapa waktu lalu kembali berputar- detik itu ia menegakkan tubuhnya.

Dejavu!

Disana, dengan pendar cahaya yang tak sempurna, sosok itu memeluk tubuhnya sendiri. Tubuh kurusnya bergetar bersama isak tangis yang perlahan terdengar. Tidak ingin bertahan dengan pikiran-pikiran buruknya, ia beranjak mendekati. Beruntung, kakinya tidak dirantai seperti apa yang ada di mimpinya.

"Awan, lo nggak apa-apa?"

Detik itu, kepala Awan perlahan mendongak. Menatap kedua bola mata Biru yang sialnya menambah rasa sakit itu. Sesak sekali rasanya. Hingga ketika tangan itu terulur menyentuh kepalanya yang diperban- ia refleks menjauh. Semakin menyudutkan tubuhnya ke dinding. Tanpa peduli raut wajah bingung dari yang lebih tua.

"Kepala lo, siapa yang perban? Orang itu masih disini?"

Bukan jawaban yang Biru terima, hanya tangisan Awan yang semakin deras tanpa suara. Membuatnya semakin penasaran apa yang sudah ia lewatkan. Namun, detik ketika suara serak Awan memecah sunyi yang sebelumnya tercipta- detik itu, Biru seperti kehilangan tenaganya. Tubuhnya melemas bersama detak jantung yang berdetak tak karuan.

"Lo bener, Ru. Gue nggak pantas ada disini."

Seolah kehilangan kata, Biru hanya mampu diam menatap lurus kedalam netra sayu Awan yang kehilangan pendarnya. Ia berharap, saat ini hanya bunga tidurnya yang belum selesai. Dan sialnya, itu hanya sebuah angan ketika anak itu kembali berucap. Yang mana mampu membuat ketenangannya hancur berantakan.

"Lo, u-udah tau kan siapa Ayah gue? Makanya, lo ngomong gitu. Tapi bener kok Ru. Gue nggak seharusnya lahir. Kelahiran gue itu cuma kesalahan. Kalau gue disini aja nggak diharapin, buat apa ada disini?"

"Dia ngomong apa aja sama lo, ha?!" sentak Biru. Entah kenapa, ketakutan yang sebelumnya menjerat- kini berubah menjadi luapan amarah. "Jawab! Dia masih disini?" lanjut Biru sembari meliarkan pandangannya. Belum sempat tubuh itu menegak, getar suara Awan kembali menguar.

"Maaf, Ru. Udah jadi alasan kehancuran hidup lo."

Biru terdiam. Bersama sakit yang entah berasal dari mana. Nyeri didadanya seolah mencekiknya kuat-kuat. Seolah lupa caranya bernapas, tubuhnya terdiam kaku. Menatap kosong anak itu yang kini mengulangi terus kata yang sama.

"Maaf, maaf, maaf Ru. Maafin gue, maaf," racau Awan sembari memukuli kepalanya sendiri. Tidak merasakan sedikit rasa sakit ketika mengenai lukanya. Sedangkan Biru, membisu ditempatnya. Pandangannya datar, pun dengan wajahnya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Disatu sisi, api amarah itu kembali muncul kala mengingatkan kebenaran itu kembali. Namun, disisi lain- ia seolah membantah kenyataan. Tidak membenarkan jika anak itu terus menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan, rasa sakit Awan seolah tersalur hingga mampu membuatnya kesakitan lebih daripada seharusnya.

"Lo di mana brengsek?!" teriak Biru, beranjak keluar kamar. Meninggalkan Awan yang mulai tak terkendali. Kilasan-kilasan buruk dari masa lalunya kembali datang. Berputar ulang memenuhi kepalanya yang serasa ingin pecah. Membiarkan darah dari luka yang masih basah itu kembali merembes. "Cukup, jangan berisik! Gue mohon."

Langkah kaki itu melangkah cepat menuruni tangga. Mengedar ke seluruh ruangan. Namun, nihil. Sosok yang ia cari tak terlihat. Hingga dering dari telepon rumah mengalihkan fokusnya. Biru segera beranjak, mengangkat ganggang telepon itu kedaun telinganya.

"Halo! Benar ini dengan rumah Bapak Sandi?"

"Iya, benar. Dengan siapa?"

"Saya dari kepolisian, hendak mengabari jika mobil yang ditumpangi Bapak Sandi bersama istrinya mengalami kecelakaan. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit."

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang