28. Janji

3.5K 377 30
                                    

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan seseorang sesungguhnya. Bahkan, dia si pemilik hati pun tak sepenuhnya tahu akan perasaannya sendiri. Mungkin, ada beberapa orang yang dengan mudah mengekspresikan apa yang dia rasa, tapi tidak semua orang seperti itu. Bahwasannya sifat seseorang tidak akan pernah bisa di tebak semudah itu. Hal yang sedang pemuda itu rasakan saat ini, pun tidak pernah bisa ia artikan. Menggenggam kenyataan beberapa hari dan mendapati kenyataan saat ini benar-benar membuatnya bingung harus menyikapi sebagaimana mestinya. Namun, disaat telinganya mendengar obrolan dua orang yang kini masih terjaga di ruang keluarga itu- sedikit ada rasa ingin menolak dari sisi dirinya yang lain.

"Aku juga tahu kok, Yah. Selama ini tante Airin sama Awan nggak pernah benar-benar bahagia disini. Apalagi, Biru nggak pernah suka sama mereka berdua. Jadi kalau keputusan Ayah buat ambil alih hak asuh Awan, aku sih setuju aja. Tinggal nanti kita urus masalah ini sama Om Sandi."

Bisma tersenyum lega, untuk kali ini ia tidak akan membiarkan keputusannya gagal begitu saja. Membawa Awan keluar dari rumah ini adalah keputusan yang tepat. Apalagi sekarang dirumah ini tidak ada Airin yang senantiasa menjaga keponakannya.

"Kita cari tahu dulu Awan dibawa ke Rumah sakit mana. Baru bicara pelan-pelan sama dia," sahut Bisma.

Tera mengangguk. Ada raut sedih saat mengingat berita duka yang harus disampaikan kepada sepupunya itu. Namun, di lain sisi ia juga senang bisa tinggal dengan Awan tidak lama lagi.

"Tapi kalau Om Sandi nggak setuju Awan ikut kita, gimana?"

"Jangan tanya Sandi, tanya Awan dulu. Ayah yakin setelah tahu semuanya, Awan nggak akan semudah itu menerima. Otomatis, dia bakal berpikir dua kali lipat buat tinggal bareng kita. Apalagi dia sadar kalau Biru nggak suka dia ada disini."

Dalam remang ruang disana, sosok yang mendengar ucapan keduanya itu menatap tajam mereka. Hingga langkahnya ia bawa menuju pintu belakang. Meninggalkan sisa-sisa amarah yang entah timbul dari mana.

Lima belas menit perjalanan ke Rumah sakit nyatanya tak membuat perasaannya menjadi tenang. Kepalanya terus saja berisik dengan spekulasi-spekulasi menyebalkan yang mampu membuatnya kepanasan sendiri. Hingga tak lama langkah itu berjalan, pintu kamar ruang inaplah yang menjadi objek pandangnnya.

Cukup lama ia memberi jeda hanya sekadar menatap hampa pintu tertutup didepannya. Sampai detik membawa tangannya memutar handle pintu. Memasuki ruangan yang menyambutnya dalam dekap dingin. Kemudian mengunci netranya pada sosok yang berbaring diatas brankar.

"Siapa?" Serak suara itu mengalun dalam sunyi ruang disana. Menyentak tubuh yang masih berdiri didekat pintu. Merasa tidak ada jawaban, pemuda dengan infus ditangannya itu kembali bersuara. Menebak sosok itu dalam remang cahaya yang masuk melewati celah-celah fentilasi.

"Biru?"

Entah bagaimana otaknya bekerja, kali ini- sosok yang baru saja dipanggil itu mendekat. Melihat dengan jelas wajah pemuda itu, Awan. Adiknya yang baru ia temui sejak kejadian semalam.

Setelah sempat melihat pesan yang Shindy kirimkan, Biru dengan tergesa menuju ke Rumah sakit. Namun dengan tidak sengaja, dirinya malah mendengar percakapan Anak dan Ayah itu sebelum keluar diam-diam.

"Lo beneran Biru? Gue nggak lagi halusinasi kan?"

Awan menatap Biru cemas, ia takut apa yang ia lihat kali ini lagi dan lagi hanyalah halusinasinya. Namun, ketika ia melihat orang didepannya menggeleng- senyum kecil itu tersungging.

Tidak berapa lama senyum itu hilang dan berganti dengan matanya yang berkaca-kaca. Perasaan bersalah itu kembali menghancurkan semuanya. Menatap wajah Biru sama saja membangkitkan lukanya ke permukaan.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang