Denting jarum jam disudut ruangan itu nyatanya tak memberikan ketenangan sama sekali. Tidak meredam gemuruh yang dengan lancang memberontak dalam dadanya. Tidak bisa dipungkiri- ketika Ibu penjaga UKS membuka kancing seragam pemuda itu hingga mengekspos bagian dada dan perut, berhasil membuka lebar kedua pasang mata yang ada disana. Nyeri yang secara tak langsung ikut mereka rasakan- hanya dengan melihat bagaimana tubuh itu membiru. Lebih parah dibagian dada. Hingga setelah kesadaran wanita paruh baya itu kembali, dengan cekatan ia memasang nasal canul dihidung mancung pemuda yang masih terpejam.
Tanpa banyak kata, Pemuda lain yang ada disana keluar. Membiarkan wanita itu bebas melakukan tugasnya. Juga perlahan mengikis sesak yang tertinggal disana. Setelahnya, ia bisa menghirup oksigen dengan tenang. Membiarkannya tenggelam dalam senandung hujan yang menjadi melodi.
Dari ujung lorong- suara sepatu yang beradu dengan lantai itu merenggut fokusnya. Hingga sosok Ranggalah yang ia tangkap.
"Gimana keadaan Awan?" tanya Rangga setelah berada didepan Biru.
"Masih ditangani."
"Benar-benar gila tuh, Odra!"
Amarah yang coba Rangga luapkan itu seolah melebur bersama dingin disana. Tanpa balasan berarti dari pemuda disampingnya. Rintik hujan seakan menjadi pemandangan yang paling indah daripada merespon kejadian yang baru saja terjadi. Membuat sang sahabat berdecak kesal sembari mengusap wajahnya kasar.
"Ru, habis ini gimana?"
"Nggak gimana-gimana."
Hampir saja tangan itu mendarat dikepala Biru jika saja Rangga tak sadar ia masih sayang nyawa. Dan akhirnya hanya suara hela napas kasar yang ia keluarkan. "Lo nggak mikir kalau berita ini sampai ditelinga BK?"
"Jangan santuy gini dong, Ru," pungkas Rangga.
"Bukan masalah gue."
Sesantai itu jawaban Biru? Padahal Rangga sudah kalut memikirkan citra nama baik sekolah mereka. Mengingat banyak dari mereka yang merekam kejadian tadi. Sudah dapat dipastikan beritanya akan menjadi topik hot besok pagi. "Lo nggak mikir getahnya nanti juga ke kita, Ru? Pasti anak-anak OSIS juga kan yang disuruh bersihin nantinya. Ini udah masuk masalah kekerasan antar siswa, dan otomatis nama sekolah kita yang kebawa. Iya kalau cuma masuk telinga BK, kalau sampai ke kepala sekolah gimana?"
Belum sempat Biru membalas, decitan pintu terbuka itu spontan mengalihkan atensi keduanya. Hingga sosok Bu Frida- petugas UKS muncul setelahnya. "Bu, keadaan Awan gimana? Baik-baik aja kan? Nggak ada luka yang parah, atau harus dibawa ke Rumah sakit?" cerca Rangga.
"Anaknya sudah bangun. Keadaan tulang dada dan sekitarnya yang saya khawatirkan. Seharusnya diperiksa lebih dalam lagi le Rumah sakit. Tapi tadi anaknya nggak mau saya antar, maunya pulang aja."
"Kamu masuk gih, bujuk buat ke rumah sakit. Saya khawatir kalau ada cedera dalam," pungkas Bu Frida sembari beranjak masuk, dengan Rangga mengekor sebelum menarik lengan Biru agar mengikuti.
Hal pertama yang mereka lihat adalah bagaimana Awan yang susah payah mendudukkan dirinya. "Lo mau kemana?" cegah Rangga sebelum Awan benar-benar menurunkan kakinya.
"Mau pulang lah. Udah ke-sorean ini." Awan meringis sesaat ketika dirasa nyeri dibagian dan titik yang sama. Memaksa bicara adalah pilihan buruk saat ini, disaat menghirup oksigen saja terasa menyakitkan. Namun ia tidak ingin jika Bu Frida kembali khawatir dan memaksa pergi ke Rumah sakit. Tolong ingatkan, Awan paling benci dengan tempat itu.
"Awan, boleh pulang kok. Tapi mau ya ke Rumah sakit dulu, hm? Nanti saya telponkan orang tua kamu supaya ditemani, gimana?" bujuk Bu Frida yang lagi-lagi mendapat gelengan ribut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...