Persis seperti apa yang Rangga duga sebelumnya. Vidio aksi antara dua siswa Adi Bangsa itu dengan cepat masuk kedaftar populer di berbagai medsos. Bisikan demi bisikan itu terdengar disetiap lorong koridor yang ia lewati. Tak banyak dari mereka yang terang-terangan merasa menyesal, karena tidak bisa menonton secara live kejadian sore kemarin. Membuat sang empu yang menjadi topik hangat pagi ini merasa risih akan mata-mata yang terus membidiknya.
Usai mengganti seragam basahnya dengan pakaian olahraga- Awan memilih menuju kelas sampai menunggu bel berbunyi. Tidak bisa dipungkiri, nyeri didadanya itu kian menyiksa. Belum lagi badannya yang terasa remuk. Juga kepalanya yang kini berdenyut tak karuan. Tepat ketika langkahnya masuk kedalam kelas- suara lantang sahabatnya lah yang pertama kali menggema. Dan setelahnya, tangan dingin itu ditarik ke bangku paling belakang. Dengan sang pelaku yang sudah menatapnya penuh selidik.
"Hebat, sih, sahabat gue yang satu ini. Udah jadi artis dadakan pagi-pagi. Terus nggak ajak-ajak gue lagi, kan, bisa tuh gue jadi artis dadakan juga."
Detik itu terdengar suara helaan napas Awan. Menggelengkan kepalanya sembari mendorong kepala Nata dengan jari telunjuk. "Bangun dulu, deh, Nat. Jangan dibawa tidur terus, tuh, otak."
"Gue udah bagun tahu. Seratus persen sadar. Mata juga udah melek, tuh, lihat," sahut Nata sembari membuka lebar matanya. "Udah lupain. Mending lo cerita aja. Sekarang masalahnya apa lagi? Kenapa tuh curut berani main tangan di Sekolah? Tumben-tumbenan sampai viral kayak gini."
"Kayak nggak tahu sifat Odra. Dia kan emang nggak waras. Suka banget cari masalah. Hidupnya terlalu gabut, jadi ya gitu, pengen populer lewat jalur sok jago. Kalau aja kemarin energi gue full, gue pastiin dia yang kapar."
"Tapi lo yang kapar, kan," sahut Nata cepat. Membungkam rapat mulut Awan yang ingin kembali bersuara. "Tapi, lo baik-baik aja? Ada yang luka serius, nggak? Dada lo gimana, gue lihat tendangan Odra nggak main-main, loh."
"Santai. Baik, kok. Udah ah gue ngantuk, mau tidur."
"Bentar, kenapa lo pakai olahraga?"
"Biar beda," balas Awan sembari beranjak ke bangkunya. Sedang Nata mengernyit tak paham ditempat.
)(
Seperti dugaan sebelumnya, kedua orang tua selaku kedua pemuda itu dipanggil ke Sekolah hari ini juga. Sudah hampir satu jam lamanya ruang BK itu bersitegang. Sampai beberapa menit kemudian, pintu coklat itu terbuka. Menampilkan sosok pria paruh baya yang diikuti sang anak. Setelahnya, wanita paruh baya keluar bersama sang putra.
"Lain kali jangan diulangi, ya, Nak," nasihat Airin setelah berhenti tak jauh dari ruang BK. Sedang dua laki-laki tadi sudah hilang ditelan jarak.
"Iya, Bun. Maaf udah kecewain Bunda," balas Awan menundukkan kepalanya.
"Bunda yakin, bukan Awan yang cari masalah dulu. Untung nggak sampai skorsing."
Awan mengangguk setuju. Hukuman yang diberi tidak memberatkannya. Sekadar membersihkan toilet sepulang sekolah, menyapu halaman depan dan juga belakang. Semua itu harus Awan dan Odra lakukan selama seminggu.
"Nggak apa-apa, deh, bersihin toilet sama jadi tukang kebun dadakan. Hitung-hitung bantuin petugas kebersihan, kan, bisa dapat pahala," sahut Awan diakhiri tawanya.
"Yaudah kamu balik ke kelas, gih. Bunda pulang dulu."
Setelahnya, langkah Airin menjauh dari sana. Meninggalkan Awan dengan raut wajah yang tak lagi bewarna. Mengingat kejadian didalam ruangan tadi benar-benar membuatnya tak habis pikir. Bagaimana bisa pria berwibawa seperti Vendro yang ia kenal dengan mudah menampar Odra didepan para guru. Bahkan suara nyaring tamparan itu masih jelas menggema ditelinga Awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...