08. Kalau Bisa, Mati?

4K 377 75
                                    

Mungkin, dari banyaknya hal yang menakutkan di dunia ini- Awan hanya akan takut kepada dua hal yang bisa membuatnya mengingat masa kelam sewaktu kecilnya dulu. Pertama, ia sangat membenci kegelapan. Kedua, Awan sangat membenci permen batang yang bergambar telapak kaki. Bahkan hanya melihatnya saja sudah mampu membawanya tertarik kepada kejadian bertahun tahun lalu. Di mana ia yang tak tahu apa-apa di culik seseorang  yang sama sekali tidak pernah bisa dilacak, bak hilang ditelan bumi.

Satu minggu lamanya Awan disekap diruang gelap penuh debu itu, dan berakhir membuatnya trauma akan kegelapan. Saat itu ia masih berumur lima tahun kala Sandi mengajaknya jalan-jalan di taman kompleks. Saat Sandi menyuruh Awan menunggunya dibangku taman, anak kecil itu menurut. Tetapi ketika seorang dengan tudung dikepalanya duduk berlutut didepan Awan kala itu, dari sanalah semuanya bermula.

"Adek kok sendirian, hm?"

Awan hanya diam sembari menatap Sandi yang sedang mengantri didepan box es kriem. "Mau permen ini nggak? Enak loh, dijamin kamu pasti suka," lanjut pria itu tersenyum manis sembari menyodorkan permen telapak kaki  kepada Awan. Awan yang penggila segala jenis permen itu dengan senang hati menerima tanpa sepatah kata.

"Mau lagi nggak? Om punya banyak loh di mobil, ikut yuk!"

"Ada lagi Om?" balas Awan antusias dengan senyum lebarnya. Pria itu mengangguk, lantas tanpa kata ia mengambil alih tubuh Awan dalam gendongannya, tanpa perlawanan bocah itu.

Dari sana, semuanya berubah. Awan juga tak tahu mengapa ia diculik tanpa ancaman meminta uang atau apapun itu. Bahkan selama seminggu Awan diberi makan, ya meski si penculik terus menjatuhkan mentalnya dengan umpatan-umpatan yang tidak Awan mengerti. Tapi, ada satu hal yang Awan tangkap. Yaitu tentang Sandi dan Vita. Dua nama yang sampai saat ini masih tertancap jelas diingatannya. Selebihnya, ia lupa akan setiap perkataan orang itu. Dan setelah beberapa tahun lamanya, ia paham nama perempuan yang disebut itu. Vita, Mama Biru.

Kini, Awan mematung. Kembali menatap permen juga fotonya yang tergeletak jelas di dinginnya lantai. Apakah si penculik itu yang selama ini menerornya? Lagi? Tapi, kenapa?

Mendengar suara langkah mendekat, membuat Awan tertarik kembali ke alam sadarnya. Segera memungut barang-barangnya dengan cepat. Tanpa sadar, satu isi dari dalam kotak itu masih tergeletak di tengah-tengah pemisah bilik toilet.

Sosok yang sedang mencuci tangan di wastafle menatap Awan yang berdiri dengan raut terkejut. Tapi, detik setelahnya belah bibir anak itu melengkung sempurna. Begitu pula dengan tangannya yang segera ia bawa ke belakang, menyembunyikan benda itu yang sialnya tertangkap mata elang milik Biru.

"Udah selesai Bang hukumannya? Perasaan belum denger suara bel, deh?!"

Tak ada jawaban, hanya suara gemericik air yang mengalir sampai Biru mematikannya. Lantas menatap kedua bola mata Awan dari kaca didepannya. Satu yang Biru tangkap, mata anak itu tak secerah biasanya. Wajahnya pun juga terlihat kusut. Ah, kenapa Biru malah memperhatikan setiap inci wajah Awan?

Dengan gelangan pelan, Biru berbalik.

"Ambil! Gue nggak butuh," ujar Biru melirik kresek yang ia taruh diatas wastafle.

"Gue beli buat lo. Pamali dong kalau gue ambil lagi, kan ya. Udah ambil aja kali, Bang. Kalau nggak mau kasih ke orang lain. Tapi ya jangan dikasih ke orang lain juga, kalau bisa lo minum tuh airnya. Pasti haus  habis dijemur dua jam," cerocos Awan seperti biasa. Tak peduli tatapan jengah dari lawannya.

"Bacot! Awas!"

"Ampun Bang, santai napa," kesal Awan yang terdorong kasar ke samping karena ulah Biru yang menerobos masuk kedalam toilet.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang