Sebuah keluarga akan tetap kokoh jika setiap pilarnya berdiri tegak. Utuh, tidak ada yang hilang maupun terluka hingga tak bisa disembuhkan. Tetapi jika salah satu pilar itu hilang, lenyap, dan tak tersentuh, sudah dapat dipastikan- keluarga itu akan hancur. Retak sudah bangunan yang selama ini mereka bangun. Hanya karena satu kesalahan bodoh yang dilakukan Sang Kepala keluarga. Dan sampai detik ini, satu nyawa yang ikut hancur berkeping keping itu masih belum mampu membangun pilar baru yang sudah ada didepan matanya.
Ya, sosok dingin tak tersentuh itu masih basah oleh luka yang alam semesta berikan. Bukannya Biru tidak mau berusaha naik ke permukaan, namun hanya saja luka itu terlalu menenggelamkannya semakin dalam. Terlebih setiap melihat anak dan ibu itu saling berpelukan juga melepas tawa disetiap ia menginjakkan kakinya kedalam rumah yang tak bisa disebut sebagai rumah tempatnya pulang. Maka daripada berlama lama melihat drama anak dan ibu itu, Biru segera melangkahkan kakinya melewati pintu utama.
"Ru, jangan nyelonong gitu aja dong. Ada Bunda loh, salim dulu gih," celetuk Awan yang sama sekali tak digubris. Satu per satu langkah Biru menaiki tangga menuju kamarnya.
"Hustt sama Abangnya kok gitu! Panggil yang sopan Awan," tegur Airin sembari mencolek pinggang putranya.
"Hehhee kebiasaan Bun. Cuma lahir beda beberapa bulan aja, dia juga judesnya kebangetan. Belum tentu mau aku panggil Abang. Aku aja belum di anggap adiknya, Bun."
Beberapa detik sunyi mengisi ruangan itu. Perkataan yang keluar dari mulut Awan berhasil membuat hati Airin terasa dipatahkan oleh kenyataan, lagi. "Udah ah jangan sedih gitu, nanti lama-lama Abang bakal sadar kok kalau kamu itu emang adiknya."
Airin tersenyum hangat. Sedang Awan mengangguk patah-patah sembari mengernyit. Seperti ada yang aneh dengan apa yang diucapkan Bunda.
"Mandi dulu gih! Nanti sekalian panggil Abang buat makan malam, ya."
"Iya. Tapi nggak janji, Bunda tahu sendiri kan kalau dia itu alergi sama masakan Bunda," sahut Awan terkekeh setelahnya. Lantas berlari kecil menaiki tangga. Bunda geleng-geleng kepala sampai punggung lebar itu menghilang dari jangkauannya. Dan detik itu- senyum sendu terlukis diwajah cantik Airin.
"Sabar ya, Nak. Bunda janji suatu saat kamu bakal dapat kasih sayang dari seorang Kakak."
Pada dasarnya, Airin sangat tahu tentang bagaimana rasa sayang Awan yang begitu besar kepada sosok Biru.
)(
"Bang buka pintunya! Buka dong! Sebentaarr aja, please!"
Ketukan brutal itu terus Awan layangkan sedari satu menit lalu. Tidak peduli dengan tangannya yang memerah, bahkan tak tahu saja jika wajah sang punya kamar juga ikut merah menahan emosi yang siap ditumpahkan.
Ceklek
Awan tersenyum puas melihat wajah dingin Biru, seperti menahan emosinya dalam-dalam. Dan setelahnya anak itu membuka suara lebih dulu sebelum Abangnya melayangkan sumpah serapahnya.
"Makan yuk! Tenang aja, kali ini bukan masakannya Bunda kok. Gue tahu lo bakal alergi kalau makan bikinan Bunda. Nih gue udah pesan Go food tadi," ujar Awan kelewat exited dengan kedua kantong keresek yang ia jinjing didepan wajah Biru.
"Enyah dari hadapan gue!" Dingin dan tajamnya suara itu bersamaan dengan tangan Biru yang menepis makanan itu. Belum sempat Awan melayangkan protesan, suara berat Biru kembali mengisi lorong disana.
"Dan lagi, jangan panggil gue dengan sebutan itu."
"Panggil 'Abang' maksut, lo?"
Pertanyaan polos Awan itu ternyata masih Biru tanggapi meski hanya sebuah anggukan kecil. Dengan mata yang memancarkan kebencian itu- Awan menatapnya tulus. Bahkan senyum dibibir anak itu tak pernah luntur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...