Dipenghujung senja kala sore ini, Awan termenung dibawah rindangnya pohon mangga. Dengan segenggam kotak yang ia bawa juga secarik kertas yang lagi-lagi menambah untaian puzzle yang ingin disatukan.
"Jangan jauh-jauh. Dia ada didekatmu," gumam Awan kembali membaca deretan huruf disana. Lantas mengalihkan pandangan kepada kotak yang berisi foto-foto dirinya yang diambil saat berada dirumah, sekolah, maupun saat dirinya sedang belanja di supermarket pun ada disana. Sial, jadi selama ini ia sedang di untit?
"Beneran gabut ya, nih, orang?! Dia kira gue takut apa?!"
Sebelum memasukkan kertas itu kedalam kotak bersama foto-foto dirinya, Awan kembali membaca ulang tulisan itu. Jujur- hatinya terus bertanya maksud dan tujuan orang yang melakukan ini. Apa, dia tau sesuatu? Tapi tentang apa?
)(
Memang pada dasarnya Awan itu keras kepala, bahkan bisa melebihi otak batu seorang Biru. Seperti saat ini, ketika Abangnya itu masih sibuk dengan acara perayaan ulang tahun sekolah yang ke-58, membuat beberapa anggota OSIS masih senantiasa tinggal di sekolah kala langit mulai menunjukkam hitam kelamnya.
"Lo nggak punya kerjaan apa?" tanya Chiko untuk sekian kalinya.
"Udah gue bilang, dirumah tuh kerjaan gue cuma tidur. Dari pada bosen mending gue temenin kalian disini," balas Awan persis seperti sebelumnya yang membuat Chiko mendecak kesal.
Kedua anak itu duduk didekat pintu camp OSIS- dengan Chiko yang memangku laptop, sedang Awan berleha leha bersama gawai yang sudah dalah mode lanskap.
"Disini juga nggak ada gunanya, lo. Main game mulu dari tadi."
"Terus, gue harus ngapain menurut lo huh?! Di bantuin juga nggak mau dari tadi. Cerewet!"
"Ck, diem. Berisik!"
"Lo yang berisik!"
Awan tak perduli lagi ketika Chiko menatap dirinya jengkel, kembali memusatkan atensi pada game di gawainya. Tanpa tahu, setiap perdebatannya dengan Chiko tadi- ada sepasang mata yang menatap Awan dingin. Seolah olah tak menyukai keberadaannya disana.
"Shit, lagi seru-serunya juga pakai acara mati lagi," gerutu Awan tepat saat layar di gawainya menghitam sempurna.
"Bawa charger, nggak?"
Chiko yang sadar ditanya pun hanya melirik, kemudian menunjuk tas yang tak jauh dari mereka dengan dagunya. Tanpa banyak kata, Awan beranjak. Mengobrak abrik tas Chiko tanpa rasa malu. Tapi, detik kala ia menemukan apa yang ia cari- tubuhnya menegang tepat kala pandangannya tak bisa menjangkau cahaya setitik pun. Hanya ada kegelapan yang mendekap. Dan itu, sangat Awan benci.
"Astaga pakai mati listrik segala, sih?! Nggak tahu kerjaan masih banyak apa?!"
"Ini gimana woy gelap! Tolong, eh ini siapa?"
"Dasar Juned, ini dada gue goblog yang lo pegang! Dasar mesum!"
"Eh Sonya, sorry nggak sengaja. Gelap tahu."
"Ada yang punya lilin nggak?"
"Eh bentar, mana hp gue? Buat senter, gelap amat buset."
"Sabar, ini gelap banget nyet! Hp mana lagi?!"
Di antara suara berisik yang memecah kegelapan malam itu- Awan hanya bisa terpaku ditempatnya tanpa beranjak. Bayang bayang kejadian beberapa tahun lalu itu kembali menghantuinya tanpa permisi. Bahkan sekadar meraup oksigen dengan benar saja ia lupa bagaimana caranya. Keringat dingin mulai mengucur, tanpa peduli sang empu yang mulai kesusahan mempertahankan ketenangannya. Satu yang harus kalian tahu, Awan itu benci kegelapan. Trauma masa lalu itu masih ada. Hingga detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...