26. Ketakutan Tak Berdasar

3.8K 437 62
                                    

Bendera kuning yang senantiasa menghiasi pelataran rumah bertingkat dua itu seakan menarik banyak nyawa untuk datang. Sekadar mengucap bela sungkawa yang sudah menjadi hal lumrah ketika ada saudara yang telah berpulang. Siang ini, tepat dikediaman Sandi- suasana diselimuti duka kala sirine ambulan memasuki halaman rumah yang kini ramai dengan orang-orang yang berpakaian hitam.

Dua laki-laki berbeda generasi itu turun lebih dulu dari dalam ambulan yang membawa jenazah Airin. Tanpa banyak kata, yang lebih muda menuntun pria paruh baya itu memasuki rumah. Keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja, membuat fokusnya hilang dengan pandangan kosong. Tanpa mampu membalas tatapan orang-orang yang menatapnya iba.

Dan untuk kedua kalinya, Sandi merasakan sakitnya kehilangan.

"Yah, minum dulu."

Sandi menggeleng lemah. Netranya setia memandang peti putih didepannya. Menyimpan raga sang istri yang lebih dulu pergi. Meninggalkannya sendiri tanpa sempat mengucap sepatah kata di detik akhir napas itu habis.

Biru menghela napas panjang. Tidak tahu harus seperti apa. Ayahnya sedari tadi enggan berbicara. Membuatnya frustasi sendiri mengurus semuanya.

Jujur, Biru merasa takut. Takut jika Ayah juga akan pergi meninggalkannya seperti Mama. Takut Ayah lebih memilih pergi, menyusul Bunda Awan.

"Minum sedikit aja, Yah. Keadaan Ayah belum stabil," bujuk Biru lagi, masih dengan air putih yang ia sodorkan didepan Sandi.

Pria itu hanya terluka dibagian kepala. Tidak terlalu parah, berbeda dengan Airin yang kehabisan darah hingga membuat kondisinya kritis sesaat dibawa ke Rumah sakit. Namun, Tuhan berkata cukup. Belum sempat sampai di Rumah sakit, Airin mengembuskan napas terakhirnya diperjalanan.

Fokus Biru teralih kala menangkap pemuda yang baru saja masuk, tersenyum sekilas kearahnya.

"Turut berduka cita," ujar Odra yang diangguki Biru.

Sepasang mata Odra menatap iba Sandi yang seakan tak menyadari kehadiran nyawa lainnya. Pandangannya kosong, terpaku kepada peti yang ada disana.

"Gue nggak nyangka, padahal baru kemarin gue ngerasa hangatnya seorang Ibu. Tapi, sekarang Tuhan ambil orang itu."

"Gue nyesel, pernah ngatain tante Airin. Kalau aja gue lebih kenal dia dari dulu, mungkin nggak akan sesakit ini."

Keduanya terdiam, ditemani alunan ayat-ayat suci al-quran dari para pelayat. Membiarkan detik berlalu bersama pikiran masing-masing.

"Ru."

Ada jeda yang Odra ambil sembari menarik napasnya dalam. "Gimana caranya ngomong ke Awan?"

Kepala Biru rasanya akan pecah detik itu juga. Denyutan dikepalanya semakin menjadi. Dirinya tidak pernah merasakan sekacau ini. Pikirannya terasa penuh memikirkan hal-hal yang nyatanya belum terjadi.

Jika ditanya, apa Biru sedih atas meninggalnya Airin? Jawabannya tidak. Sama sekali tidak merasakan apa-apa. Merasa senang? Jawabannya pun; tidak. Ada yang lebih menganggu pikirannya ketimbang semua itu.

"Gue nggak sanggup lihat reaksi Awan," lanjut Odra yang diam-diam dibenarkan oleh Biru. Hanya dalam hatinya. Tanpa ucapan.

"Kapan lo mau jujur, Awan juga berhak tahu. Kalau aja kesehatan Awan baik, seharusnya dia yang lebih berhak mengantar Ibunya sampai ke liang lahat."

"Nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Kita coba pelan-pelan aja. Gue malah takut kalau Awan tahu dia nggak bisa lihat Ibunya untuk terakhir kali. Ru, coba pikirin lagi. Masih ada waktu sebelum pemakaman."

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang