Sepanjang netra membelah rinai hujan itu tak bosan berdiam diri di antara lalu lalang manusia yang mulai mencari tempat berteduh. Kaki yang semula berpacu cepat kini seolah membeku di depan sebuah Rumah pinggiran kota. Tak peduli tubuhnya mulai basah akibat air yang turun begitu lebat. Memori usang masa lalu telah membangkitkan alam bawah sadarnya yang telah ia telan. Hingga seorang remaja berhenti tepat di sampingnya dengan raut penuh tanya tak lagi ia pedulikan."Kakak cari siapa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya gadis itu sembari membagi payungnya dengan laki-laki itu.
"Kok kayak nggak asing, ya, wajah Kakak." Detik setelahnya, ketika sosok di sampingnya menoleh, gadis itu memekik hingga payung yang ia pegang terlempar begitu saja.
"Mau foto?" Bukan bertanya, lebih tepatnya pemuda itu menawarkan sebelum mengambil alih payung dan membuka kamera digawainya. Tanpa sepatah kata, gadis itu mengangguk berulang bersama senyum dan pekikan kecil yang tak bisa ia tahan.
"DM aku aja, nanti aku kirim."
"I-iya," balasnya sembari menerima payungnya kembali. Perasaan senang yang berlebihan itu mampu membungkam mulutnya yang tak bisa berbicara. Hingga kepergian laki-laki itu hilang dari pandangannya, baru lah dirinya terduduk lemas.
"I-itu beneran Karan? G-gue beneran ketemu sama Awan? Nggak lagi mimpi kan?" monolognya.
)(
"Udah tahu musim hujan, kenapa nggak bawa payung sih?"
"Lupa, lagian kenapa Bang Tian nggak jemput?"
Pemuda yang lebih tua itu melempar handuk sebelum kembali melangkah menuju dapur. "Emang gue supir lo apa?!"
"Seenggaknya perhatian gitu sebagai Kakak."
"Tadi pulang fanmeet juga udah gue tawarin buat bareng kan? Terus siapa yang bilang masih ada urusan. Sok sibuk!" Belum sempat pemuda bernama Karan itu membalas, acungan spatula dari Tian berhasil membungkam mulutnya.
"Pulang-pulang basah kuyup udah kayak anak kucing kecebur selokan." Karan mendelik tak terima, tapi tak sempat memprotes ketika Tian kembali menginterupsi. "Dari mana aja sih?!"
Detik berganti menjadi menit tak ada tanda-tanda balasan dari yang lebih muda. Membuat Tian mengalihkan fokusnya dari penggorengan ke wajah murung adiknya itu. "Kenapa tuh muka?! Lagi datang bulan atau ditinggalin pacar?"
"Apaan sih Bang nggak lucu," balas Karan yang kemudian beranjak dari duduknya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar ia sempatkan berujar yang mampu menaikkan amarah lawannya. "Bang Tian sekarang jadi banyak ngomong, ya. Cerewet banget mirip cewek, awas ntar kayak Biru beneran nggak ada yang mau!"
"Heh ngomong apa lo?!"
"Dasar, lama-lama mirip Awan beneran tuh anak," gumamnya dengan senyum tipis.
Apartemen yang hanya dua pemuda tinggali itu mulai bernyawa ketika pagi menyapa. Keduanya sibuk dengan dirinya sendiri sebelum memulai aktivitas hari ini. "Bang, acaranya nanti sampai jam berapa?"
"Sampai siang, kenapa?"
"Filmnya udah kelar lama tapi masih aja ada fansmeet. Kapan aku bisa bikin cerita baru lagi coba," balas Karan dengan mulut penuh roti.
"Emang lo mau bikin cerita lagi? Kenapa nggak fokus kuliah dulu aja?"
"Kalau bisa dua-duanya kenapa enggak?"
Tian terdiam memandang adiknya, sebelum meletakkan garpu dan menatap intens Karan yang mulai memusatkan fokus keduanya. "Kesehatan lo lebih penting daripada keegoisan orang dewasa itu Karan. Lo tahu kan kondisi diri sendiri kayak gimana? Toh jadi artis juga bukan kemauan lo dari awal. Gue oke aja kalau lo mau nulis, tapi terjun ke dunia entertaiment bukan fashion lo Karan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...