17. Tragedi Kartu Hilang

2.7K 438 58
                                    

Tepat ketika langkah kakinya menampaki dinginnya lantai- setitik demi setitik air mulai berjatuhan. Bersama langkah yang ia ambil menuju ruang tengah. Mengingat satu benda paling berharga tergeletak begitu saja sebelum dirinya keluar rumah. Tepat kala netranya menangkap benda persegi itu terletak diatas meja- kedua alisnya terangkat. Seakan mengingat kembali posisi terakhir kali benda itu ia letakkan. "Perasaan tadi gue taruh di sofa. Kok bisa pindah di meja, ya."

"Apa Bunda yang pindahin?," pungkas Awan. Lantas mendudukkan dirinya setelah gawai itu ada pada genggamnya.

Lagi, kedua alis lebatnya itu hampir menyatu melihat notifikasi yang memberitahukan 'tidak ada kartu SIM'

"Lah, kok nggak ada SIM nya? Nggak ada sinyalnya beneran ini?" heran Awan- yang kemudian membongkar tempat SIM cardnya berada. Dan benar saja, dua kartu yang seharusnya ada pada tempatnya itu terlihat kosong. Tidak ada kartu sama sekali.

"Kok nggak ada kartunya?!" pekik Awan. Sungguh diluar logika, bagaimana bisa kartu sekecil itu yang tersimpan apik bisa hilang begitu saja?

Pada akhirnya Awan celingukan mencari keberadaan sang Bunda. Mungkin saja wanita itu yang sudah mengambilnya bukan?

"BUNDA! BUNDA! KARTU AWAN BUNDA AMBIL YA?! KOK NGGAK ADA?"

Teriakan Awan itu sukses menggema diseluruh rumah. Meredam gemericik air hujan yang semakin deras. Membuat Airin yang sedang memijat sandi itu menjingkat kaget. Lantas meminta ijin kepada Sandi yang hanya mengangguk sembari geleng-geleng kepala.

"Ada apa sih, Nak? Kok teriak-teriak," ujar Airin yang kemudian mengambil tempat disamping Awan.

"Ini, kartu SIM card aku kok nggak ada. Bunda ambil, ya?"

Airin dengan wajah inocentnya itu menggeleng ribut. "Enggak kok. Bunda nggak ambil, emang kartunya nggak ada?"

"Nih lihat Bun, nggak ada. Kosong,"balas Awan sembari menunjukkan tempat SIM cardnya.

"Kok bisa nggak ada? Mungkin lupa udah kamu lepas tadi. Masa bisa hilang sendiri sih, kan nggak mungkin."

"Ya ampun Bunda, aku belum pikun. Tadi sebelum pergi masih chatingan sama Nata, nggak aku apa-apain kok. Beneran."

Airin terdiam, sempat berpikir sebelum mengucap beberapa patah kata yang membuat Awan merasa heran. "Apa mungkin Abang kamu yang ambil? Soalnya tadi Bunda lihat dia kayak habis terima telpon gitu di HP kamu. Tapi pas Bunda tanya siapa yang telpon, dia nggak jawab."

"Biru? Maksud Bunda, dia angkat telpon itu pakai HP aku? Beneran HP aku?"

"Iya, Bunda lihat sendiri Abang pegang HP kamu. Coba deh tanya sama dia, kali aja Abang iseng ambil kartu kamu," ucap Airin diakhiri seulas senyum yang membuat Awan tertular. Tersenyum lebar sembari setengah meloncat dari duduknya. Yang kemudian meninggalkan Bunda dengan kecupan terima kasih dan berlari menaiki tangga menuju kamar yang lebih tua.

Gedoran brutal itu benar-benar mengusik fokus Biru. Membuat langkah terpaksa ia ayunkan menuju pintu. Dan berakhir menatap tajam sosok dengan senyum lebarnya.

"Ru, kata Bunda lo tadi angkat telpon di HP gue, ya? Siapa yang telpon?"

Hembusan napas kasar itu keluar, memutar bola matanya malas. Sekali lagi, dengan tatapan tak suka Biru menatap kedua netra Awan yang entah kenapa bisa begitu bersinar. Benar-benar udah gila, batin Biru berteriak paling keras.

"Berisik! Nggak sudi gue pegang barang lo. Nggak guna juga angkat-angkat telpon, nggak penting."

"Tapi kata Bunda-"

"Bunda lo bohong! Nggak usah ganggu gue," seloroh Biru hendak menutup kembali pintu, namun terhalang oleh kaki Awan yang tiba-tiba mengganjal. Bahkan Biru bisa mendengar ringisan kecil saat kayu tinggi itu menghimpit kaki Awan.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang