20. Sakit yang Terungkap

4K 430 61
                                    

Selama ini, banyak hal yang membuat remaja laki-laki itu merasa iri. Menganggap dirinya yang paling menyedihkan. Terlihat kuat dan pemberontak diluar nyatanya tidak bisa menghilangkan jati dirinya yang mudah rapuh. Menangis dalam diam sedari kecil adalah kebiasaan yang sampai kini masih ia lakukan. Memendam luka tanpa siapapun tahu.

Ingin sekali dirinya membawa wanita yang dipanggil Mama itu kembali hadir dalam hidupnya. Nyata. Bukan hanya sekadar ilusi yang selalu datang lewat mimpi. Namun, malam ini hangat perhatian itu kembali hadir selama bertahun-tahun tidak pernah ia rasakan. Sentuhan perhatian seorang Ibu yang selalu dirindukannya. Juga kehangatan yang tak pernah ia rasakan kini dapat dirasakan. Dalam pejamnya, remaja itu membayangkan sosok Mama lah yang sekarang merawatnya. Mengobati setiap luka yang berasal dari orang tuanya sendiri, sang Ayah.

Suara lembut wanita itu terasa menyayat. Mengingat kembali apa yang mulut kotornya itu lontarkan untuk wanita paruh baya yang kini menolongnya. Namun, tak ada yang bisa tahu- perhatian seorang ibu yang selama ini ia rindukan seketika terobati karena wanita itu. Sosok yang selama ini ia lecehkan nama baiknya.

"Kenapa bisa gini, sih, Nak? Berantem sama siapa lagi," lirih Airin.

Tangan itu dengan telaten menutup luka dikening- Odra. Setelahnya, hening ruangan kembali mengambil alih. Cukup lama, sampai tangan itu berhenti mengompres setiap lebam disana- Airin beranjak. Meninggalkan deru napas teratur itu menemani detak jarum jam dinding yang berbunyi konstan. Membiarkan kelopak mata yang perlahan terbuka. Menatap kosong langit-langit kamar yang terlihat asing.

"Mama, Odra kangen."

)(

Menit terbuang sia-sia ketika dua nyawa itu saling diam. Malam yang semakin larut itu tak membuat mata lantas terpejam. Sedari langkah Awan memijak lantai kamarnya sendiri setelah memastikan Biru tidur dengan nyaman dikamar anak itu- Awan tak lagi terkejut dengan sosok lain yang berbaring diatas ranjangnya. Airin yang sebelumnya memberitahu perihal Odra membuatnya paham akan situasi ini. Hingga ia ikut berbaring disebelah dalam diam. Sesekali menatap Odra bersama pejamnya; yang Awan tahu tidak benar-benar tertidur.

"Gak nyangka banget apa yang gue pikirin bakal kejadian," ujar Awan mematahkan hening yang sebelumnya menguasai. Sejenak, ia menoleh kearah Odra yang masih sama, tanpa respon balik.

Ada jeda yang Awan ambil sebelum menghela napas dalam. Lantas kembali berujar yang nyatanya mampu membuat getar didalam relung kelam itu menghangat. "Kalau lo butuh rumah, datang kesini aja. Gue siap buka pintu buat lo duapuluh empat jam."

Tak ada balasan. Kalimat demi kalimat itu melebur bersama dingin ruang ber-AC itu. Sebelum kembali bernyawa kala ucapan Awan menguar.

"Gue bilang gitu tulus. Benar-benar tulus. Terlebih dari apa yang selama ini terjadi. Yang perlu lo tahu, gue bukan tipe orang pendendam. Selepas apa yang udah lo perbuat sama gue. Lo, tetap orang biasa yang gue lihat kayak teman-teman yang lain."

"Kalau pun lo benci sama gue, entah karena apa- itu bukan masalah. Itu hak lo."

"Kalau sakit, bilang aja sakit. Jangan disimpan sendiri." Batin Awan menjerit kesal. Dirinya dengan mudah mengatakan itu semua. Tetapi sosok dirinya yang lain mrneriakinya bodoh. Dengan mudah mengatakan itu semua- padahal dirinya sendiri tida bisa menerapkan.

Tanpa tahu, ada amarah yang perlahan dibangkitkan. Membaur bersama sakit yang entah berasal dari mana. Memaksa mulut yang sedari tadi bungkam terbuka. Membalas suara-suara yang berhasil membuatnya kepayahan. "Tahu apa lo tentang sakit?" lirih, namun penuh penekanan disetiap kata.

"Semua orang juga pernah sakit. Tapi kita nggak tahu, bagaimana sakit itu ada."

"Semua orang punya topengnya masing-masing. Menutupi lukanya dengan cara berbeda-beda. Dan gue, lihat itu dari diri lo, Dra."

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang