11. Sabotase?

3.1K 366 52
                                    


Hantaman lampu panggung itu meluncur sempurna hingga menimbulkan kegaduhan bercampur pekikan para remaja disana. Tawa yang sebelumnya tercipta itu terpaksa lenyap detik itu. Berganti jerit keterkejutan kala lampu panggung  hampir menimpa Awan jika saja seseorang tidak mendorongnya.

"Wan, lo nggak apa-apa? Ada yang luka nggak? Bilang sama gue, mana yang sakit?" cerca Nata yang sudah berjongkok disamping Awan yang masih syok. Sial, kecemasannya semakin menjadi. Telinganya bahkan tak merespon baik suara-suara disekitar.

"Awan! Bisa denger gue nggak, sih?" tanya Nata sembari mengguncang tubuh Awan.

"Biru! Kepala lo berdarah!" teriak Rangga yang baru saja naik keatas panggung.

Seakan dibangkitkan dalam alam bawah sadarnya- Awan mengerjap, mengamati sekeliling yang sangat kacau. Tapi fokus matanya kini lebih mengarah kepada sosok yang tak jauh darinya.

"Ru," panggilnya lirih.

Biru bisa mendengar suara itu, bahkan sebelum semuanya benar-benar mengabur dalam pandangannya- ia bisa melihat Awan yang berusaha mendekatinya meski getar dikedua bola mata saudaranya itu tak bisa lagi disembunyikan. Hingga suara-suara yang menyerukan namanya perlahan menjauh. Seakan ditarik paksa oleh kegelapan yang menenangkan. Biru, tak sadarkan diri.

"Anjing Ru! Jangan mati dulu yaelah, bangun bego! Jangan becanda, lo!" racau Rangga yang langsung menumpu kepala Biru dengan pahanya. Tidak peduli celananya yang terkena darah sahabatnya itu.

Awan bisa dengan jelas melihat bagaimana kepala Biru mengeluarkan cairan pekat merah. Tubuhnya tak lagi mampu mendekati Biru, dadanya semakin sesak melihat bagaimana sosok beku itu terpejam.

Mungkin, jika tidak ada Biru yang datang tepat waktu- dirinya tidak akan baik-baik saja seperti saat ini. Namun kenapa harus Biru?

Pikiran-pikiran buruk kembali memenuhi otak Awan, sampai anak itu benar-benar menyerah. Mengikuti Biru dalam kelam yang menenangkan.

"Sial, ngapain ikut pingsan juga si, bodoh! Woy mana ambulance nya anjing?!" amuk Nata.

)(

Berulangkali remaja itu menghela napas kasar. Terperangkap dalam ruangan yang sudah lama tak ia kunjungi itu rasanya seperti dejavu. Kembali mengingat masa-masa sulit yang ia lalui dulu. Dan sialnya, Dokter yang sedang menatapnya penuh intimidasi saat ini lebih pintar dari pada dirinya.

"Tidak mau bicara, Awan?"

Hening. Tak ada balasan yang bisa Awan berikan. Toh apa yang harus ia jelaskan, jika sebelum ia bicara saja wanita didepannya ini sudah mengetahui apa yang terjadi.

"Kalau saja kamu nggak masuk rumah sakit tadi, dan kalau bukan sahabat saya yang menangani kamu, mungkin saya nggak akan pernah tahu," ujar Dokter Shindy; psikiater Awan sejak ia mengalami PTSD.

"Kapan saya boleh keluar? Saya mau lihat keadaan Biru," ujar Awan dingin.

Ah, ia terus merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus menapakkan diri di tempat yang seharusnya ia hindari. Padahal, setelah sadar tadi ia berniat menjenguk Biru- namun harus terpatahkan oleh kedatangan Dokter Shindy.

"Tidak. Sebelum kamu cerita sama saya. Sejak kapan? Dan kenapa bisa kambuh? Kamu tahu, akibat dari obat yang kamu minum tanpa anjuran yang benar itu bisa membahayakan diri kamu sendiri, Awan."

Dokter cantik itu menarik napas dalam, sebelun kembali mengeluarkan ceramah yang diam-diam membangkitkan memori Awan dimasa lalu. "Saya tanya sekali ini saja, harus jawab jujur! Baru kamu boleh jenguk saudara kamu, hm?"

Awan mengangguk. Menurut, daripada berlama lama disini membuat perasaannya tak tenang.

"Jadi, sejak kapan kamu melakukan, itu?" tanya Shindy sembari melirik tangan kiri Awan yang tertutup jaket.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang