Dari balik jendela sore ini, kedua pasang manik mata itu menatap lurus sepanjang rintik hujan membasahi tanah. Bau petrichor itu membuatnya sedikit tenang berada didalam ruangan ini.Lagi, dia terjebak didalam ruang itu. Tempat yang sudah beberapa tahun lalu tak ia kunjungi. Namun kali ini dia sendiri, tidak ada lagi sosok Bunda yang menemani. Biarlah, sudah saatnya ia mengatasi lukanya sendiri. Tanpa membaginya kepada orang lain.
"Sudah berapa sering kamu merasa cemas, panik, maupun gejala lainnya?" Suara itu berhasil menyentak Awan dalam lamunannya. Hingga atensinya ia alihkan kepada wanita cantik yang duduk didepannya itu.
"Di waktu-waktu tertentu," balasnya datar. Binar yang selalu hidup itu kini tak lagi menyala. Hanya tatapan datar dan tak acuh disetiap pertanyaan terlontar.
"Saat kamu merasa takut, tertekan...seperti itu bukan?"
Awan menghela napas kasar. Jengah dengan pertanyaan yang mengarah ke-pernyataan itu. "Dokter sudah tahu! Jangan berbelit, kalau Dokter sendiri udah tahu jawabannya nggak usah nanya lagi! Buang-buang waktu," kesal Awan dengan wajah tertekuk sempurna setelahnya.
Yeah, ini yang ditunggu Shindy. Sikap Awan yang sedang kesal adalah kesenangan tersendiri bagi Dokter cantik itu. Bukan Awan yang dingin dan cuek.
"Saya hanya ingin memastikan. Jangan ngambek gitu, dong," balasnya diakhiri kekehan. "Ya habisnya kamu nggak asyik. Diam aja dari tadi, nggak mau ngomong gitu?"
"Lagian mau ngomong apa?" sungut Awan. Sungguh ia masih merasa kesal.
"Ya cerita dong, kenapa depresi kamu kambuh lagi, hm? Sampai lakuin self harm, itu udah nggak bisa dibiarin terus terusan, Awan."
"Aku tahu."
"Nah, kalau tahu kenapa nggak langsung kesini temui saya? Malah nunggu ketahuan dulu, tck!"
"Iya, aku salah. Sekarang udah disini, kan?"
"Oke, sekarang serius."
"Dari tadi udah serius. Dokter aja yang nggak serius!" Shindy menghela napasnya pelan. Sebelum mengetuk berulang meja kaca itu dengan jari jemarinya. Menatap intens Awan yang juga menatapnya bingung. "Apa? Mau tanya apa lagi?!"
"Saya nggak mau tanya lagi. Cuma mau penjelasan dan cerita dari kamu. Sudah, itu aja."
Anak itu terdiam. Mengalihkan pandangannya keluar jendela. Disana, titik-titik hujan semakin lebat. Suara senandung hujan itu masih bisa ia dengar sebelum pikirannya berkelana menuju hari-hari sebelumnya. Apa ia harus menceritakan semua itu? Tentang perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Belum lagi masalah teror yang ia dapat beberapa kali itu.
"Awan, kenapa?"
Hening, tidak ada jawaban yang Awan beri. Ia hanya menatap dalam kedua netra hanzel milik Shindy, bermaksud agar wanita itu bisa membaca semua isi pikirannya tanpa susah payah bercerita, yang hanya membangkitkan luka lamanya.
"Saya bukan cenanyang, dan saya tidak akan tahu sebelum kamu bicara, Awan."
"Dia balik lagi," balas Awan cepat. Kedua alis Shindy menyatu, mengernyit tak paham dengan jawaban Awan. Tetapi tidak dengan otaknya yang terus bekerja mencari makna tersembunyi dalam kalimat pasiennya itu.
Cukup lama keduanya saling diam. Hingga beberapa menit setelahnya, kedua bola mata itu membola bersama punggungnya yang menegak. Ekspresi yang membuat Awan memutar bola matanya malas.
"Kok, bisa? Kamu ketemu orangnya? Siapa? Kamu kenal dia nggak?!"
"Nggak tahu. Dia cuma ngancem doang pakai notes, foto aku waktu kecil dulu, dan ngasih permen kaki juga. Udah itu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...