02. Dua Kubu

4.6K 497 34
                                    

Awan itu aneh, iya aneh. Tidak pernah kasihan kepada dirinya sendiri. Padahal jika sakit yang menderita juga dirinya. Tapi bahwasannya Awan itu memang keras kepala. Tidak peduli dengan omelan Bunda yang terus berkoar ketika dia pulang setiap maghrib berkumandang. Dulu, Bunda sangat melarang Awan ikut Organisasi Pramuka. Bunda juga mempunyai alasan kuat menolak permintaan Awan hingga berakhir menyetujui pilihan putranya itu.

Kondisi fisik Awanlah yang menjadi alasan utama Airin tidak setuju. Karena Awan itu berbeda. Dia hanya seorang pemuda yang terlahir dalam kondisi prematur. Membuat imun tubuhnya tidak sebagus anak remaja pada umumnya. Tapi, Awan sudah terbiasa dengan kondisi tubuhnya yang kadang minta dimanja. Seperti sekarang, darah segar itu lagi-lagi keluar tanpa aba-aba.

"Gue ke kamar mandi dulu," ujar Awan menepuk bahu Nata. Lantas meninggalkan camp pramuka sembari menutupi hidungnya yang mimisan.

"Sial, bikin malu aja."

Ditengah tengah gerutuannya, Awan terus mendongak. Berusaha menghalau cairan itu agar tidak mengalir terus. Tapi naas kala jalan yang tidak ia perhatikan, tubuhnya menabrak tubuh tinggi yang langsung mengumpat pelan.

"Shit, hati-hati dong kalau jalan."

"Sorry, gue dulu!" balas Awan berlari kecil. Meninggalkan Rangga yang menatapnya aneh. Tapi, detik setelah ia menatap ubin dingin lorong yang ia pijak- matanya menyipit. Lantas kembali menatap punggung Awan yang benar-benar lenyap ditikungan.

"Darah?"

"Ngga! Malah bengong, mana kuncinya?"

Rangga tersentak kaget, menatap Biru kesal. "Nih! Lain kali bawa dikantong. Udah tahu dibutuhin kapan aja, yang repot kan gue."

Biru mendengus, menerima uluran kunci camp Osis dari Rangga. "Kalau nggak iklhas bilang."

"Tck, bilang makasih kek."

"Udahlah ayo!"

Sebelum benar-benar berbalik, kedua netra Biru menyipit. Menatap cairan merah yang hampir saja diinjak Rangga.

"Darah lo Ngga? Kenapa, ada yang luka?" tanya Biru panik.

Rangga itu, sahabat yang sudah Biru anggap seperti keluarga. Bahkan, setiap dia tidak nyaman dengan rumah tempatnya pulang- Rumah Ranggalah yang menjadi tujuan utama Biru.

"Bukan."

"Terus darah siapa? Ini darahkan," sahut Biru sembari berjongkok. Mengamati lamat-lamat darah itu. Kurang kerjaan memang.

"Darahnya si Awan kayaknya. Tadi gue tabrakan sama tuh anak."

Biru spontan mendongak. Mengamati wajah Rangga yang juga menatapnya. Tidak ada kebohongan disana, memang apa gunanya Rangga berbohong kepada Biru?

"Mau lo cek?"

"Lo gila?! Ngapain juga, kurang kerjaan."

Gaungan langkah Biru menggema disepanjang koridor. Bersama raut wajah yang berubah datar seratus persen. Menurut orang-orang terdekat pemuda itu, Biru adalah sosok yang pandai mengubah raut wajah secepat detik berdentang. Bahkan, ada orang yang menganggap Biru mempunyai dua kepribadian. Padahal, tidak. Hanya saja sosoknya itu memanglah piawai dalam mengontrol ekspresi.

)(

Seminggu sudah Biru dan Awan mempersiapkan segalanya untuk hari ini. Hari di mana kedua Organisasi sekolah itu melakukan pendakian juga berkemah dialam terbuka.

"Biru, sayang. Sini makan dulu!"

Biru melirik sekilas ajakan Airin yang berada dimeja makan bersama Awan. Tidak menggubris sama sekali, langkahnya ia bawa melewati kedua orang itu.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang