27. Dia yang Harus Terlihat Sempurna

3.5K 360 59
                                    

"Cut! Take a break guys!"

Tepuk tangan juga hela napas panjang itu melebur bersama dersik angin yang menyapu setiap keringat. Kerja keras seharian ini akhirnya selesai. Bersama cakrawala yang membentang indah dengan warna jingganya, siap memanjakan mata dikala lelah itu tiba.

Sepoi angin di rooftop itu nyatanya tak mampu menenangkan detak yang tak beritme pada seharusnya. Kaki jenjang itu masih gemetar bersama keringat dingin yang senantiasa mengalir dari wajahnya yang sudah dimodel bak orang sakit. Kepalanya sedikit berputar kala teringat hiruk pikuk kendaraan juga manusia dibawah gedung tempatnya berpijak sekarang.

"Besok libur sampai minggu. Pak Baron mau piknik sama anak-anak lain," ucap laki-laki dengan tato dilengan kekarnya yang biasa dipanggil Kang Tirto.

"Loh, mau piknik? Di mana? Kapan berangkat? Kok nggak bilang kalau piknik, sih?! Kan aku juga mau ikut," protes pemuda dengan pakaian rumah sakit. Sudah tak peduli dengan kakinya yang gemetar, ia melangkah mendekati pria bertopi kuda sebelum mendapat balasan dari Kang Tirto.

"Pak Baron mau piknik, ya? Kemana? Kok nggak bilang, aku juga mau ikut!"

Pria berumur empat puluhan itu berjingkat, hampir saja melepas gelas kopi yang hendak ia seduh. "Ya ampun Karan! Suka banget bikin orang jantungan. Bisa dikecilin nggak suaranya?!"

Mata bulat itu mendelik tajam, sedang sang lawan dengan santai melebarkan senyumnya. Lantas mengait lengan pria paruh baya itu.

"Maaf, deh. Nggak lagi bikin kaget, tapi jawab dulu dong, beneran besok mau piknik?"

"Iya, besok pagi berangkat. Kalau kamu pengen ikut, jangan ijin ke saya. Ijin ke Abang kamu sana!"

Detik itu, bibir yang semula menarik sudutnya- kini mengerucut. Menghentakkan sekali kakinya sembari melepas tangannya yang semula bergelayut. "Tuh kan, suka banget sekongkol dibelakang aku!"

"Udah sana! Saya mau ngopi. Ganggu banget bocil satu ini."

Hela napas panjang Karan ambil sebelum mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rooftop. Hingga atensinya terfokus pada satu sosok. Yang kemudian langkahnya ia ambil mendekat.

"Bang! Aku mau ikut piknik. Titik. Ini bukan minta ijin, tapi aku kasih tahu." Hanya lirikan sekilas yang Karan terima. Laki-laki berumur dua puluh itu sibuk dengan gawainya.

"Okey, diam berarti setu-"

"Ikut piknik berarti semua fasilitas Abang cabut."

"Nggak bisa gitu dong, Bang! Tapi, nggak apa-apa deh cabut aja. Masih ada ATM berjalan lainnya," kekeh Karan yang mampu bertahan sedetik setelah suara berat itu kembali menguar.

"Dari Kak Eros juga nggak ada."

"Nggak adil banget, sih, kalian! Piknik doang masa nggak dibolehin?! Tck, awas ya nanti aku aduin ke Papa."

"Emang Papa peduli?"

Setelahnya, kedua netra itu meredup. Benar. Peduli apa Papa kepada dirinya yang hanya bisa menyusahkan?

"Kamu tau, kan, Papa lagi berusaha naikin image lo biar bisa dianggap? Jadi, jangan cari masalah lagi. Abang cuma nggak mau kamu kecapekan. Gunain libur dua hari itu buat istirahat. Kalau nggak buat belajar, biar bisa banggain orang tua."

Kaliamat panjang lebar itu nyatanya mampu mencekik Karan. Napasnya tercekat mendengar semua penuturan yang seharusnya bisa ia ambil positifnya. Namun, seberapa kali Karan menelan ucapan-ucapan orang disekitarnya, nyatanya hanya akan menyakitinya. Meski maksud orang tersebut baik, tapi tetap saja. Jika topik yang diangkat lagi dan lagi hanya tentang kepopularitasan yang wajib keluarganya junjung tinggi-tinggi.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang