24. Kehilangan?

4.4K 461 93
                                    


"It's okey, Awan. Lo nggak perlu merasa bersalah. Yang penting, kan, kita bawa pulang piala. Ya walaupun nggak juara satu."

Seulas senyum dari Jessy mengakhiri kalimat yang sialnya tak bisa membuat Awan tenang. Seusai turun dari panggung dan membawa pulang juara dua Matematika itu, Awan tak henti-hentinya mengucap maaf. Dirinya benar-benar merasa bersalah. Jika saja kemarin ia baik-baik saja, mungkin mereka akan mengerjakan dengan lebih teliti. Tanpa perlu mengejar waktu yang sebenarnya masih banyak tersisa, hanya karena dirinya.

"Gue merasa bersalah banget, Jess. Kalau aja kemarin gue nggak sakit, pasti kita bisa lebih baik ngerjainnya."

Embusan napas panjang yang keluar dari Jessy perlahan menguar bersama dersik angin yang berembus tenang. Di taman kecil tempat penginapan inilah mereka berdua bersantai setelah para peserta lainnya digiring untuk sarapan pagi sebelum pulang.

"Gue nggak enak banget sama Pak Hery. Apalagi sama Biru. Sama lo juga," lanjut Awan sembari mengusap kasar surainya.

"Tck, gue malah nggak suka lo nyalahin diri lo sendiri! Udah gue bilang, ini semua bukan salah lo, Awan. Bersyukur aja deh, dari pada ngeluh kayak gini."

Ada jeda yang Jessy ambil guna mengurai kekesalan yang entah sejak kapan mulai membuatnya kepanasan sendiri. Lantas melirik Awan yang masih berwajah mendung. Saling menautkan kedua tangannya, juga kepala yang sedari tadi menunduk. Tak khayal membuat Jessy ikut merasakan apa yang Awan khawatirkan.

"Udah ya, Wan. Kita masuk yuk! Sarapan dulu, lo juga harus minum obat. Gue nggak mau lihat lo kesakitan lagi."

Awan mendongak, tak membalas uluran tangan Jessy yang memintanya bangkit. Bertemu dengan teman-temannya yang lain saja masih enggan, apalagi selera makannya yang sudah hilang. Bidang lainnya bisa mendapat juara satu kecuali matematika dan geografis, hal itu membuat Awan semakin merasa bersalah.

"Lo aja yang masuk. Gue nggak laper."

"Mau laper atau enggak-"

"Jess, bisa nggak pergi aja? Gue pengen sendiri," potong Awan. Detik itu, Jessy tak lagi menyahut. Hanya bisa mengembuskan napas pasrah, lalu beranjak meninggalkan Awan disana.

Sepeninggalan gadis itu, Awan kembali terdiam dengan pandangan kosong. Menatap lurus hamparan bunga-bunga yang berjejer rapi didepannya. Namun, berbeda dengan isi kepalanya yang kemudian terasa begitu berat. Bersamaan suara bising yang entah datang dari mana. Semuanya saling bersahut-sahutan tanpa terdengar jelas. Yang kemudian tangannya bergerak kasar merogoh semua saku yang ada dicelana maupun jaket yang ia kenakan. Dan, ya- benda yang dicari berhasil ia genggam. Lantas membuka tabung putih kecil itu. Mengeluarkan tiga pil sekaligus dari dalam sana. Kemudian menenggak butiran kecil itu tanpa bantuan air.

Kilasan kejadian tadi malam kembali berputar dikepalanya. Mengakibatkan dengungan ditelinganya semakin terdengar menyakitkan.

"Tenang, semua baik-baik aja. Tenang, Awan. Itu cuma halusinasi lo aja. Okey, tenang," gumamnya pada diri sendiri. Hal yang sering Awan lakukan kala pikirannya tak lagi sejalan. Menanamkan apa yang Dokter Shindy selalu ajarkan. Berakhir melakukan butterfly hug seorang diri.

Di sisi lain, Amarah yang perlahan dibangkitkan itu menyalur hingga dinding-dinding pucat disana seolah bisa merasakannya. Bahkan, ramai canda tawa disekitar tak mampu memberi ketenangan pemuda itu. Kedua telinganya masih terpasang apik mendengar kalimat panjang lebar yang mampu menyalakan api didalam tubuhnya.

"Seandainya aja masih ada Mama kamu, pasti kita bertiga bakal reuni besar-besaran. Tapi, sayang. Mama kamu milih pergi duluan."

Lagi, tawa yang keluar dari orang itu mampu membuat Biru menahan setengah mati kepalan tangannya yang menuntut pelampiasan. "Sebenarnya, Bapak ingin bicara apa?" Pelan suara itu menghentikan tawa yang entah sejak kapan terdengar begitu putus asa.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang