30. Tinta Terakhir

7.5K 510 120
                                    

Peringatan; jangan mual ya, 4.500 kata:^

)(

Dulu, Biru pernah berada dititik terendah hidupnya. Di mana ketika satu nyawa yang paling berharga baginya itu berhenti. Tidak lagi berdetak seperti seharusnya. Dan sampai sekarang pun, luka itu masih ada. Belum mengering sepenuhnya.

Dan pada hari itu, ia tahu bagaimana sakitnya kehilangan. Sakit yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh kata-kata. Baginya, dunianya sudah hancur detik itu. Bersamaan dengan jasad yang telah dipeluk erat oleh Bumi.

Pun dengan hari ini, ditempatnya berpijak, sepasang bambinya dengan jelas menangkap sosok itu berdiri di dinding pembatas rooftop. Detak yang seharusnya berjalan normal, kini mulai kehilangan ritmenya.

"Biar aku aja yang samperin, Dok."

Yang lebih tua hanya mengangguk pelan. Ada keyakinan besar dari kedua netranya kepada pemuda yang kini melangkahkan tungkainya mendekati sosok itu.

"Mau loncat bareng?" tanya Biru sesaat berada disebelah- Awan. Ikut naik ke pembatas dinding yang sukses mengejutkan pemuda disebelahnya.

"Kenapa bengong? Ayo loncat sama-sama. Biar nggak masuk neraka sendirian," sambung Biru setenang dan sedatar wajahnya yang menatap dalam sepasang bambi coklat itu.

Ingin sekali Awan bersuara, tetapi entah kenapa suaranya hanya sampai tertahan ditenggorokan.

"Lo pengecut! Semudah itu lo mau ingkari janji yang bahkan belum genap duapuluh empat jam."

"Gue emang pengecut," balas Awan lirih.

"Yaudah, loncat aja sekarang. Biar jadi pengecut bersejarah."

Hening. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari belah bibir kedua pemuda itu. Hingga menit berganti, suara Awan mengalun pelan. Nyaris seperti sebuah bisikan. "Biar gue aja yang loncat. Lo nggak perlu ikut."

"Lo mati. Gue mati."

"Kenapa? Bukannya dulu lo pengen gue mati, ya?"

Biru membisu. Diam seribu bahasa. Entah kenapa, dadanya terasa dihimpit, nyaris membuat napasnya terhenti. Seolah apa yang baru saja Awan katakan, menghantam telak ketakutannya. Kata-kata yang pernah terlontar kala itu, kembali terngiang berulang kali.
Belum sempat Biru mengucap sepatah kata, suara dari arah belakang membuat keduanya spontan menoleh.

"Turun yuk, Nak! Jangan disitu, bahaya," lanjut Bisma sembari melangkah mendekat, di ikuti Tera dibelakangnya. Sedang Tiara, Rara, dan Dokter Shindy masih berada didekat pintu.

"Turun Awan! Jangan aneh-aneh, okey?!" sambung Tera yang setelahnya mengulurkan tangan. Namun, Awan hanya menatap datar uluran tangan itu. Lantas kembali mengarahkan pandangnya kedepan.

"Awan sayang, jangan kayak gini. Om minta kamu turun dulu, ya. Kita bicarain baik-baik apa yang kamu minta. Okey?!"

"Iya, Awan. Lo nggak sendiri disini. Masih ada kita, keluarga lo. Lo masih anggap gue, Ayah, Bunda, sama Rara keluarga lo, kan? Kalau masih, ayo turun! Kita bicara baik-baik, hm?" sahut Tera.

Jujur, ada perasaan hangat ketika kalimat panjang lebar Tera terlontar. Awan sendiri tidak menyangka jika ia akan kembali bertemu dengan keluarganya dari sang Ibu. Keluarga Bisma yang selama ini ia kenal dengan baik. Namun, tempat dan waktu yang membuat mereka jarang sekali bertemu.

"Awan, ayo turun Nak!" pinta Bisma sekali lagi.
Kedua bambi Tera dan Biru saling bersitatap sekilas. Jelas dengan aura berbeda keduanya layangkan. Biru dengan tatapan malasnya, sedang Tera melirik tajam.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang