16. Jangan Bandingkan!

3.1K 340 38
                                    

Masih dengan seulas senyum mengembang diwajah tampannya. Memandang sosok yang menyantap makanan dalam diam. Ini memang benar adanya. Nyata. Sosok beku nan dingin itu kini berada satu meja makan dengannya- orang yang paling dihindari. Dan ini adalah hal langka yang pertama kali mereka lakukan. Makan dimeja yang sama. Benar-benar diluar dugaan. Hingga hampir lima belas menit berlalu, makanan yang ia pesan itu masih utuh. Dibiarkan begitu saja tanpa tersentuh.

Terlalu senang dalam kondisi saat ini, tanpa sadar sosok itu beralih menatap tajam lawannya. "Makan! Lo nggak bakal kenyang cuma lihatin gue."

"Hah? Ah iya nih gue makan. Tapi Ru, tumben lo mau makan bareng gue," celetuk Awan yang kemudian memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Terpaksa."

"Dih, terpaksa. Emang siapa yang maksa?"

"Goblok!"

"Tuh, kan- mulutnya nggak pernah diajarin ngomong yang bener ya."

Hendak Biru bangkit namun urung kala Awan menariknya hingga terduduk kembali. Tak peduli tatapan Biru yang sudah mengeluarkan leser. "Disini aja. Habisin dulu itu."

Biru mendengus. Kembali melanjutkan acara makannya yang tertunda. Terpaksa, sih. Kalau tidak kelaparan setengah mati mungkin Biru tidak akan sudi makan semeja dengan Awan.

"Ngomong-ngomong nih, Ru- kelakuan lo tadi nggak sopan banget. Gue lagi ngomong sama Pak Hery, lo main potong aja. Dia itu guru kita loh, kalau lo lupa."

Tubuh itu berjingkat kaget ketika suara nyaring dari garpu yang Biru banting sukses mengundang atensi orang yang ada disana. Membuat Awan mengucapkan permintaan maaf kepada orang-orang yang masih menatap keduanya. "Lo itu kenapa sih, Ru? Nggak tahu ini tempat umum ya? Santai aja dong."

"Lo yang nyulut emosi gue," lirih- namun penuh penekanan disetiap kalimat itu.

"Cuma mau bilang kalau itu nggak sopan. Bukannya mau nyulut emosi lo. Lagian kenapa sih, kok kayaknya lo nggak suka banget sama Pak Hery? Apa karena soal kejadian di Perpustakaan tadi? Lo masih aja ngira kalau-"

"Diem! Gue nggak mau bahas ini. Dan nggak usah sebut nama dia didepan gue."

Detik itu, langkah Biru menjauh dari hadapan Awan. Meninggalkan kernyitan didahi yang lebih muda. Semakin tidak paham dengan kelakuan saudaranya yang mudah terpancing emosinya tanpa alasan yang jelas. Ah, tapi bukannya dari dulu Biru selalu memakai emosi jika didekat Awan?

"Kenapa ya, kok gue ngerasa ada yang aneh."

)(

Sudah dua hari ini Rangga merasa ada yang tidak beres dengan Biru. Sahabatnya itu lebih banyak melamun meski pada dasarnya memang jarang sekali bicara. Tetapi tidak sependiam ini. Padahal, ingin sekali Rangga berbicara tentang suatu hal yang masih menjadi pertanyaan yang menghantui pikirannya. Tapi satu hal yang sangat Rangga sadari- yaitu seperti saat ini misalnya. Ketika sahabatnya menatap guru matematika itu dengan tatapan dingin syarat akan ketidak sukaan khas seorang Biru. Sama persis ketika sahabatnya menatap saudaranya- Awan.

"Ru, lo dengerin nggak sih penjelasannya Pak Hery?" bisik Rangga.

Biru mengedikkan bahunya. Masih menatap lurus kedepan, dimana pria paruh baya itu sedang menjelaskan materi. Namun, yang Rangga tangkap bukanlah Biru yang fokus mendengarkan- tetapi lebih ke mengintimidasi guru itu dengan tatapannya. Dan sejauh ini, Rangga tahu bahwa guru itu juga balas menatap Biru dengan seulas senyum juga pandangan yang sulit Rangga artikan.

"Lo lagi kenapa sih, Ru? Cerita sama gue."

"Jujur nih, gue lihat-lihat lo kayak nggak suka gitu sama Pak Hery. Lo juga nggak pernah ikut latihan olimpiade. Aneh, kenapa Ru?" pungkas Rangga.

Awan sang Biru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang