Seperti rekaman yang berulang kali di setel, suara itu bagai alunan yang senantiasa membuat sang empu tak tenang disetiap roda dua itu berputar. Meski otaknya ingin mengenyahkan pun percuma. Karena pada dasarnya, suara yang terus berteriak itu berhasil menghantam relungnya. Hingga setir motor itu berbelok arah, menancap gas seiring dadanya yang tiba-tiba bergemuruh.
Basah sudah seluruh tubuh Biru kala rodanya berhenti tak jauh dari tempat parkir. Dapat dilihat, dua orang disana berbincang tanpa menyadari hadirnya. Hingga tangan yang lebih tua itu terulur menyentuh dada yang lebih muda. Seakan melukis sesuatu disana.
Kuda besi itu kembali melaju, berhenti tepat didekat dua orang beda generasi itu.
"Itu, Biru udah datang. Kalau begitu saya pamit."
Senyum khas laki-laki berkacamata itu mengakhiri hadirnya disana. Pandangan Biru masih senantiasa mengikuti jejak guru Matematika itu sampai hilang dibalik mobil. Namun, detik setelah mobil milik Pak Hery benar-benar hilang- fokusnya teralih kepada sosok yang masih mematung ditempatnya. Tak ada sedikit reaksi yang membuat saudaranya akan bergerak. Seperti hilang fokus.
"Ekhm!"
Percuma. Bahkan atensi yang Biru coba tunjukkan itu tak sampai pada fokus Awan yang terlihat kosong. Bahkan Biru bisa melihat bagaimana rona wajah itu tak lagi bewarna. Dan detik setelah suara petir menyambar, barulah tubuh Awan merespon. Respon yang cukup membuat Biru seperti dejavu.
Anak itu meluruhkan tubuhnya, berjongkok dengan tangan yang memukuli kepalanya sendiri sembari meracau tak jelas.
Biru terdiam ditempatnya, mengawasi Awan yang beralih membongkar isi tasnya hingga sebuah botol putih kecil itu beralih ketangan Awan yang bergetar hebat. Dan detik setelah tutup itu terbuka- Biru melebarkan mata kala Awan menelan banyak butiran pil obat itu.
"Lo gila?! Muntahin bego! Mau overdosis, lo, huh?!" Panik Biru sembari memukul mukul tengkuk Awan hingga anak itu benar-benar memuntahkan obat yang belum tertelan sempurna.
"Uhuukk..uhukk..eughh.."
Kedua bola mata yang kehilangan fokusnya itu berusaha menatap dalam manik kelam Biru. Seakan meminta pertolongan kepada sosok beku yang kini menatapnya tajam.
"Nih, satu aja!" ujar Biru ketus. Memberi satu pil yang ia yakini obat kecemasan milik Awan jika PTSD anak itu kambuh.
Dengan tangan yang bergetar, Awan menerima satu butir pil yang langsung ia telan tanpa bantuan air.
Yeah, selama tinggal bersama Awan- Biru mengetahui bagaimana sosok didepannya itu ketika kambuh dalam waktu tertentu. Mungkin sudah dua atau tiga kali Biru melihat Awan kambuh ketika dirumah. Pada saat mati listrik atau disaat hujan lebat disertai petir. Dan yang ia tahu, Awan akan sangat membutuhkan pelukan hangat Airin.
"Di-dia...ada di-sini...Ru, to-tolong..."
Entah dorongan dari mana, Biru langsung mendekap tubuh Awan. Mendekapnya dalam pelukan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Tanpa peduli baju Awan yang ikut basah karena dirinya.
"Tenang, lo aman."
Bisikan yang mengalun ditengah bisingnya hujan itu, berhasil membawa kenyamanan bagi Awan. Merasakan setiap elusan dipunggungnya, juga hangat yang selama ini ia cari dari sosok beku sang Biru.
)(
Hari ini, senyum secerah matahari itu terpancar tanpa beban. Setiap langkah yang ia bawa mengundang tanya beberapa murid disana. Apa ada yang salah dengan anak itu? Menebar senyum sepagi ini, meski mereka tahu bahwa hadirnya pun selalu membawa tawa. Tetapi jika senyum-senyum sendiri layaknya orang gila, apakah bisa dianggap hal biasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...