Setelah acara berberes selesai, semua peserta diarahkan ke ruangan bidang masing-masing untuk mengikuti bimbingan. Dan disinilah ketiga perwakilan matematika Adi Bangsa berada, bangku deretan terdepan. Disebelahnya ada perwakilan sekolah Citra Bangsa, lebih tepatnya sekolah musuh yang sekamar dengan Biru dan Awan.
"Lo tahu Jess, kita sekamar sama siapa?"
"Ya mana gue tahu, aneh lo!"
"Emang sama siapa?" lanjut Jessy yang ikut penasaran. Melihat emosi Awan saat berbicara saja sudah menimbulkan teka-teki.
"Sama mereka," bisik Awan sembari menunjuk dua cowok dan satu cewek dibangku sebelah mereka.
"Serius? Gila, sih ini. Terus-terus, ada kejadian apa? Lo sama Biru nggak saling tonjok sama mereka, kan?"
"Ya nggak mungkin sampai adu tonjok, lah, Jess. Cuma ya, gitu. Orang sebelah lo yang kurang sopan," balas Awan sembari menunjuk Biru yang berada disebelah Jessy dengan dagunya.
"Beneran? Terus, nggak sopan gimana maksudnya?" kepo Jessy memelankan suaranya. Takut-takut Biru yang sibuk menulis entah apa itu mendengar obrolan mereka.
"Ya masa dia nylonong gitu aja pas diajak kenalan. Mana ninggalin gue gitu aja lagi. Nggak tahu apa, warga handbody citra bapernya kayak gimana," balas Awan juga melirihkan suaranya.
Belum sempat Jessy membalas, pembimbing yang masih terlihat muda itu memasuki ruangan. Dan setelahnya, obrolan keduanya terpaksa berhenti. Berganti dengan acara pelatihan yang berjalan khidmat.
Setelah dirasa tenang, Awan kembali merasa kalut ketika perdebatan malam hari ini membuat pikirannya bertambah kacau. Tubuhnya yang lelah seteleh menghabiskan seharian ini hanya untuk rumus-rumus sialam itu- dibuat tambah runyam ketika Deren dan Biru tak mau kalah.
"Lo kok egois?! Lo pikir ini kamar punya Bokap lo apa, ha?!"
Teriakan Deren itu kembali mengudara. Meredam detak jarum jam yang berbunyi konstan. Juga menambah denyutan dikepala Awan yang semakin menjadi.
"Lo yang egois. Udah gue kasih penutup mata biar lo bisa tidur. Kenapa nggak mau?" balas Biru.
"Percuma, gue tetep nggak bisa tidur kalau lampunya nggak dimatiin!"
"Tolol!" desis Biru yang berhasil membuat wajah lawannya merah padam. Tangan Deren mengepal dikedua sisi tubuhnya. "Lo nggak bisa tidur kalau terang, kan? Makanya gue kasih penutup mata itu biar gelap. Kalau gue nggak bakal bisa tidur gelap, jalan satu-satunya lampu ya harus nyala. Emang lo punya solusi gimana biar ruang ini terang tanpa lampu? Solusi lo udah ada, tinggal pakai penutup mata itu. Udah beres, kenapa muter-muter dari tadi? Atau emang lo nya yang nggak mau ngalah, sih."
"Anjing lo!" Hendak Deren maju, namun urung kala tarikan tangan dari Reynan mencegah.
"Udahlah, kita ngalah aja. Lo pakai penutup mata itu, jangan di perpanjang. Gue pusing."
Dengan napas memberat, Deren mengalah. Beranjak naik keatas ranjangnya setelah merampas kasar penutup mata dari tangan Biru.
Awan yang berdiri tak jauh dari mereka itu memijit keningnya. Namun, juga ada hela napas lega keluar tanpa beban. Bersyukur berulang kali karena mereka tidur dengan lampu menyala. Tidak perlu ditanya lagi, Awan masih tetap sama. Pemuda dengan luka di dalam kegelapan.
Sejenak, pandangan Biru dan Awan bertemu. Ada pancaran lega yang dapat Biru tangkap dari kedua binar netra itu. Yang setelahnya ia putus lebih dulu. Lalu membaringkan tubuhnya yang beberapa detik kemudian disusul oleh Awan.
"Ru."
Biru dengar, namun memilih abai. Membalikkan tubuhnya memunggungi Awan. Mata itu masih terjaga, mendengar baik-baik kalimat yang terlontar dari mulut Awan setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan sang Biru✔
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Sebegitu bencinya lo sama gue, Bang?" "Iya. Sampai rasanya gue pengen lo hilang dari pandangan gue." "Kalau bisa mati sekalian." Bagi Awan, Biru adalah sebuah misteri yang harus ia pecahkan. Tapi bagi Biru, Awan adalah jawaban dar...