1.

900 62 1
                                    

Pagi ini hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Sudah tiga bulan tak ada hujan hanya ada gersang dan angin kencang. Biasanya jika hujan datang, sebagian orang-orang kota akan senang. Karena, polusi akan perlahan menghilang.

Angkutan umum yang masih melaju tak dapat menghiraukan kemecatan setiap harinya. Dylan Byantara, pemuda sederhana turun dari angkutan umum. Hari ini, hatinya dipenuhi kegundahan, dari semalam Dylan tak dapat tidur. Tepatnya, tiga bulan dia kesulitan untuk memejamkan mata.

Jika sampai restoran yang ia tekuni selama enam tahun tutup, Dylan tak dapat menemukan tempat bekerja yang lain. Dia tau kriteria untuk masuk kerja pasti akan sangat sulit. Sedangkan, dia hanya lulusan SD dan tak punya pengalaman apapun selain menggoreng fried chikend.

"Dylan!" Suara perempuan yang Dylan kenali terdengar nyaring, ia menoleh ke belakang seraya tersenyum.

"Pagi, Manda." Sapa Dylan setelah Amanda berjalan beriringan dengannya.

Amanda tersenyum membalas sapaan Dylan, dengan semangat Amanda menggandeng lengan Dylan. "Gue kangen banget naik ojek, Dyl." Ujarnya memelas.

"Iya, gue juga kangen naik ojol. Naik angkut macet, lama sampainya." Keluhnya, kini wajah yang selalu ceria itu perlahan berubah mengendur.

Mereka berdua masuk kedalam restoran tempat bekerja. Setelah di ambang pintu, ada pak Hidan duduk di meja barista. Tidak seperti biasanya, enam tahun menjabat menejer restoran, datang sepagi ini. Buru-buru Dylan dan Amanda menghampiri, memberikan senyum sopannya kepada pak Hildan.

Seperti kebiasaan pada umumnya. Sebelum memulai pekerjaan mereka berdua akan di sibukan dengan beberes terlebih dulu. Dylan menyapu dan Amanda mengepel. Lalu membersihkan kaca jendela dan mengelap meja. Tak lupa menyirami tanaman-tanaman di lantai dua. Kalau urusan cuci piring, mereka kerjakan sebelum pulang. Awalnya, pekerja di restoran.Enak ini memiliki tujuh pegawai. Namun, satu persatu mereka undur diri. Yang tersisa hanyalah Dylan juga Amanda. Amanda bertahan karena menunggu uang pesangon. Kalau Dylan, ia tak tau harus bekerja dimana lagi kalau bukan di restoran.Enak ini.

"Guys enggak apa-apa, jangan beres-beres, bapak mau ngomong sesuatu." Ujar pak Hildan, ia berjalan dan duduk di kursi.

Setelah saling pandang selama dua detik, Dylan dan Amanda menghampiri pak Hildan.

"Kalian tau, kan, bapak udah usaha semaksimal mungkin buat pertahanin restoran ini." Pak Hildan memulai. Namun, firasat Dylan mulai tidak enak. "Tapi sayang banget, yang mau beli restoran ini enggak jadi. Beliau tau kalau yang punya restoran ini ternyata seorang koruptor. Apalagi yang lebih parahnya, mulai besok restoran ini bakal di sita oleh pihak KPK. Kita enggak bisa bawa apapun barang disini."

Jantung Dylan melemas ketika mendengar penuturan dari pak Hildan. Restoran akan di sita oleh pihak KPK dan tidak boleh bawa apapun didalam sana.

Pemilik asli restoran mewah ini adalah seorang legislatif, dan ternyata ia mengambil yang bukan haknya. Dylan tidak menyangka akan mendengar kabar buruk seperti ini. Ia sudah tahan selama tiga bulan tidak di gaji karena perlahan-lahan restoran bangkrut, tak cukup untuk menggaji karyawan. Dylan pikir ia akan di selamatkan, tetapi setelah mendengarkan apa yang di ucapkan pak Hildan membuat Dylan putus asa.

Dylan juga tidak bisa menyalahkan pak Hildan. Semuanya juga tau kalau pak Hildan sudah tidak di gaju full selama lima bulan. Bahkan sudah satu bulan ini pak Hildan tidak memakai mobilnya.

"Tapi, uang gaji sama pesangonnya gimana, pak?" Tanya Amanda dengan nada kecewa.

Pak Hildan menoleh Amanda. "Itu yang bapak pikirkan." Jawabnya dengan muka tidak terbaca. "Bapak benar-benar enggak bisa bantu ... Begini aja, kebetulan ada dua motor pentaris disini, mungkin bapak bisa jual dan bayar gaji sama pesangon kalian. Tetapi sebelumnya, kalian coba cari-cari pekerjaan lain."

Amanda terlihat lebih suram dari sebelumnya. Semua aset yang dimiliki oleh bosnya tidak boleh ada yang tertinggal. Semuanya akan di ambil oleh KPK. Mungkin, pak Hildan berbicara seperti itu hanya untuk menenangkan saja. Amanda juga Dylan tau betul situasi apa yang mereka rasakan saat ini.


O U R    S T O R Y



Mendengar berita menyakitkan seperti itu Dylan tak sanggup berpikir bagaimana ia kedepannya. Dia hidup sendiri, tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Kalau pun ada Dylan pasti akan malu. Kepada siapa lagi dia harus meminta bantuan kecuali kepada Amanda? Namun, dari gaji tidak turun Dylan selalu merepotkan Amanda, ia sering meminjam uang bahkan biaya makan sering Amanda yang tanggung. Dylan tidak sanggup lagi jika harus mengganggu Amanda.

"Jadi, kita mau cari kerjaan apa?" Tanya Amanda, mulutnya penuh setelah menyeruput es kelapa muda di jalan persimpangan. Karena terik matahari memaksa dua sahabat itu untuk mampir membelinya.

"Gue enggak tau, Man." Jawab Dylan. "Lo enak, orang tua usaha jasa laundry. Nasib gue gimana?"

Amanda menoleh Dylan, sedikit tertawa. Mungkin apa yang di ucapkan Dylan barusan benar. "Kerja sama orang tua enggak asik lah, Dyl. Enggak bakal bebas, banyak tekanan."

Dylan menyikut lengan Amanda, geram. "Masih ada kesempatan ngeluh aja bawaannya!"

Amanda tertawa.

Tbc.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang