11.

286 45 2
                                    

Ketakutan yang dirasakan oleh Dylan amatlah mengerikan, ia yang trauma dengan kenangan dulu lebih memilih menangis di depan Kenzie. Bukannya Dylan orang yang cengeng, lihat saja ketika semua kesulitan berkali-kali datang ke kehidupannya. Dylan jarang sekali menangis. Ia selalu kuat di setiap keadaan. Tetapi, ketika menyangkut dengan nyawa, Dylan sangat sensitif.

Kehilangan orang yang dicintai, membuat ibunya murka dan selalu menyalahkan atas dirinya sendiri. Waktu itu sampai sekarang, Dylan juga tak pernah bisa memaafkan dirinya atas insiden yang mengerikan. Dylan faham dan sadar diri, karena yang terjadi karena ulah Dylan sendiri.

Sore hari hujan deras menerpa genting rumah Kenzie, diluar terlihat badai angin sedikit berputar. Bebungaan yang membentuk bunderan bergoyang-goyang mengerikan. Dylan berjalan untuk menutup gorden agar tak terlihat keadaan diluar. Gelap, kamar Kenzie langsung berubah gelap, tetapi langit-langit kamarnya berubah menjadi aesthetic, bintang-bintang juga bulannya terlihat bersinar. Juga dua orang astronot terlihat lebih elegan ketika mendarat dibulan tersebut. Ruangan temaram seperti ini membuat Dylan nyaman sendiri.

Kenzie masih tertidur, efek samping obat tidur yang di resepkan dokter nyaris menyita setengah hari waktunya. Dylan sedikit panik, Kenzie belum makan apapun sedari pagi. Namun, ia juga tak kuasa jika membangunkan Kenzie.

Dylan duduk di lantai sedari tadi mengawasi Kenzie yang masih terlelap tanpa terusik. Suara pintu terbuka membuat Dylan menoleh, karena dirumah Kenzie ia hanya berdua.

Seorang laki-laki berpakaian kemeja biru tua dengan wajah blasteran membuka pintu. Dylan ingat, ini bukan ayah Kenzie. Seingatnya pak Quentin adalah WNI.

Memberi hormat, Dylan berdiri seraya tersenyum sedikit menganggukkan kepala.

"Gaimana keadaan Kenzie?" Tanya laki-laki itu pada Dylan.

"Baik." Jawab Dylan. "Dokter bilang kalau Kenzie hanya kekurangan tidur."

Laki-laki berpakaian biru tua duduk di sofa dekat dengan jendela, wajah tenangnya membuat Dylan pensaran. Dulu, jika ada sesuatu di sekolah dasar orang tua Kenzie pasti akan datang, dan Dylan masih ingat laki-laki ini bukanlah ayah dari Kenzie.

Mengangguk, laki-laki itu duduk bersandar pada tahanan sofa. Satu kakinya terangkat seraya menyilang.

Memberanikan diri, Dylan bertanya meskipun sedikit gugup. "Bapak ini ...?"

Senyum menawan terlukis di bibir laki-laki yang mesih terlihat muda itu. Ia berbicara. "Kamu Dylan, teman anak saya waktu sekolah dasar?" Ujarnya, "Kenzie cerita ada kamu yang lagi nginep disini ... Saya seneng kalau ternyata Kenzie ada temannya dirumah ini."

Dylan tertawa. "Oh, jadi iya, bapak ini pak Quentin?" Tanya nya. "Dulu saya ingat kalau bapak ada kumisnya." Dylan bernostalgia. "Tapi, penampilan bapak sekarang terlihat jauh lebih awet muda." Dylan menggeleng takjub dengan perubahan pak Quentin yang tiap hari semakin tampan.

"Bukan." Laki-laki yang masih duduk itu menggelengkan kepalanya seraya tertawa ringan. Sedangkan Dylan yang mendengarnya terkejut, membisu ditempat. Laki-laki di depan melanjutkan. "Saya papa tirinya Kenzie." Ujarnya memberitahukan. "Leroy Valo ... Kamu boleh panggil saya pak Roy."

Dylan merasa buruk, ia tersenyum canggung dengan terus menerus meminta maaf pada pak Roy perihal dirinya yang sok tau.

Dengan murah hati pak Roy memaafkan Dylan. Berdalih bahwa ia menikahi bu Fara Davira selaku ibu Kenzie baru empat tahun yang lalu, dan pastinya teman-teman sekolah dasar Kenzie tidak ada yang tau kalau ibunya sudah menikah lagi.

Dylan juga tak mau bertanya lebih lanjut perihal pak Quentin. Apakah ayah biologis Kenzie masih hidup atau sudah meninggal. Kenapa bisa bu Fara menikah dengan laki-laki berondong tiga tahun di bawahnya? Namun sayang, Dylan tak ada hak ia bertanya tentang privasi orang lain. Dylan memutuskan kembali duduk di lantai mengawasi Kenzie yang masih tertidur.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang