4.

334 47 2
                                    

Bagaimanapun, Dylan terlalu malu jika harus meminjam uang pada Amanda. Terlebih melihat status whatsappnya dia menceritakan kalau bisnis laundry milik orang tuanya sepi. Amanda juga menceritakan kalau ia sekarang menganggur dan meminta seseorang jika menemukan lowongan pekerjaan segera hubungi dia. Dengan berat hati, Dylan menskip Amanda dari pikirannya untuk dimintai pertolongan.

Namun, ketika melihat status whatsapp yang lain, bola mata Dylan tertuju pada seorang teman di sekolah dasar, ia memamerkan sebuah motor keluaran terbaru, diselanjutnya Dylan melihat ia memamerkan sedang makan-makan di sebuah restoran mewah dengan caption merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Sebenarnya, Dylan kurang menyukai temannya itu. Tetapi, dia satu-satunya yang mungkin dapat membantu Dylan saat ini.

Dengan sedikit ragu, Dylan mengirim pesan dengan basa basi menanyakan kabarnya, juga mengucapkan selamat ulang tahun. Namun, bukannya di balas, ia malah menelepon. Dylan berpikir sejenak, apakah ia harus menerima telepon itu atau tidak. Tetapi melintas di benaknya bu Serli marah-marah dan mengusir Dylan dengan tidak hormat. Ia dengan buru-buru menjawab teleponnya.

"Gue baik, Dyl. Mau ikut ke pesta ulang tahun gue?" Tanya Kenzie Lorenzo Quentin, setelah sambungan teleponnya diangkat.

Disebrang sana terdengar riuh sorak orang-orang. Sekarang, Dylan merasa menyesal telah menghubungi Kenzie, dia adalah anak dari pemilik air minum Quen yang laku dipasaran, dan ibunya adalah pengusaha kain. Kenzie pasti akan sangat sibuk menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Memikirkannya, Dylan merasa mual. Ia memang sedikit benci dengan orang-orang berlabel kaya.

"Enggak perlu, Ken." Jawab Dylan. "Gue cuma mau ngomong selamat ulang tahun, tadi enggak sengaja liat status lo."

Hening, tidak ada suara gaduh lagi di ujung telepon. Sepertinya, Kenzie berjalan beberapa langkah untuk menjauh dari kebisingan. Namun, setelah tiga detik, Kenzie tak juga berbicara lagi. Sekarang Dylan benar-benar salah telah menghubungi Kenzie. Saat akan menutup telepon, Kenzie berbicara.

"Ada apa sih, Dyl?" Tanya Kenzie akhirnya "Lo lagi butuh bantuan gue, ya?" Tanya nya lagi. Nadanya turun melembut. Mendengar ini, Dylan mulai melemah. Ia menahan lagi air mata agar tak terjatuh.

Dylan menjelaskan semua yang sedang menimpanya pada Kenzie, ia bercerita dari awal bahkan di putuskan oleh Naya. Awalnya Dylan angkat tangan tak mau berusan dengan Kenzie. Setelah lulus SD mereka tidak pernah bertemu lagi. Tetapi setelah dua tahun bekerja di restoran, Kenzie mampir bersama teman-temannya. Disana, mereka baru pertama bertemu lagi, Kenzie sudah pindah ke kota mengikuti orang tuanya. Disana juga mereka bertukar nomor whatsapp, meskipun baru kali ini Dylan memulai berkomunikasi selain cuma melihat status masing-masing.

Suara motor terdengar dari depan, setelah dilihat dari jendela itu benar-benar Kenzie. Dylan pikir Kenzie hanya bercanda akan berkunjung, tetapi setelah mendengar penuturan Dylan, ia tergesa-gesa akan datang.

Dylan membuka pintu dan tersenyum menyapa Kenzie. "Gue ngerepotin, ya Ken?" Tanya Dylan merasa bersalah, "Yuk masuk."

Kenzie tersenyum lalu mengikuti Dylan masuk kedalam kontrakan. "Enggak, kok. Lagian gue juga free."

Dylan mempersilahkan Kenzie duduk di ranjang, karena tidak ada kursi. Setelah memberikan air minum Dylan duduk disamping Kenzie. "Padahal ini ulang tahun lo, tapi gue malah bikin repot."

Kenzie tertawa. "Enggak apa-apa, Dyl. Serius." Ujarnya. "Jadi gimana? Butuh berapa?"

Mendengar itu Dylan malah menjadi tidak enak hati. Ia dengan malu melebarkan kesepuluh jarinya. "Dua juta buat bayar utang sama Amanda." Dylan menutup dua jari. "Empat juta buat bayar kontrakan selama empat bulan." Empat jari Dylan tertutup "Semuanya enam juta." Tutur Dylan.

Dengan santainya Kenzie membuka dompet yang sangat tebal. Lalu menyerahkan uang enam juta pada Dylan. "Segini doang, Dyl? Gue tadi ke ATM ambil sepuluh juta." Katanya tertawa.

Dylan menerima uang itu dangan sangat malu. "Maaf, ya, Ken. Gue malu banget sumpah."

"Udah, sana, lo bayar dulu uang kontrakannya." Kenzie menyiratkan agar Dylan cepat keluar dari dalam.

Setelah mengangguk, Dylan berjalan keluar kontrakan untuk memberikan uang kontrakan pada bu Serli.

Saat akan masuk kedalam halaman bu Serli sedang berdiri, jajan bakso langganan yang sering melewat. Ia menoleh sinis pada Dylan yang berdiri tepat didepan bu Serli.

"Bu, ini uang empat juta buat bayar kontrakan empat bulan." Tutur Dylan.

Bu Serli langsung menjauh dari penjual bakso seraya menarik lengan Dylan agar mengikutinya. Setelah melepas kasar tangan Dylan bu Serli berkacak pinggang. "Enggak usah empat juta." Katanya. "Tiga juta setengah aja. Besok bakal ada orang yang mau sewa kontrakan yang kamu tinggalin. Jadi, kamu boleh pergi." Bu Serli menghitung uang, lalu menyerahkan uang lima ratus pada Dylan.

"Loh, kok begitu, bu?" Tanya Dylan tidak mengerti. "Masa ibu usir saya, kan, saya udah bayar."

"Iya, tapi ibu enggak mau sewain sama kamu lagi."

Dylan memelas, ia sedikit memkasa bu Serli dengan menggenggam lengannya. "Bu, ini udah malam, udah jam sembilan. Saya bingung mau cari kontrakan dimana. Besok aja usir saya nya."

Menghentakan kakinya bu Serli berlalu dengan berbicara tegas. "Sekarang, Dylan! Besok pagi tamunya mau datang!" Setelah itu ia mengambil bakso dari penjual lalu masuk kedalam rumah seraya menutup pintu dengan kasar.

Dylan masih tidak tau harus berbuat apa. Tadinya, uang tiga juta simpanannya akan ia gunakan untuk keperluan sehari-hari. Tetapi, ia malah kena usir malam ini. Padahal, di kota besar sangat sulit mendapatkan kontrakan yang harganya murah.

Ia berjalan kembali dengan langkah gontai. Usiran sepihak ini membuat dirinya semakin terluka. Kemana dia harus mencari kontrakan malam-malam begini. Kalau ia tidur di hotel sembari mencari kontrakan akan sangat sayang. Mending uangnya ia gunakan untuk keperluan makan.

Setelah membuka pintu, Kenzie langsung berdiri menyambut Dylan. "Dyl, kan tadi uangnya udah di pake. Uang buat sehari-hari gimana? Gue tambahin tiga juta, ya?"

Tidak mendengar apapun, hanya ada keheningan di sekelilingnya, bahkan Dylan tidak melihat Kenzie yang sudah berdiri didepannya. Ia terus berjalan seakan tidak bernyawa, mata kosongnya menatap lurus kedepan. Setelah tepat didepan ranjang, tubuh Dylan terduduk dengan sendirinya. Kedua tangannya menangkup wajah lalu ia rebahkan kepalanya.

Kenzie yang melihat ini tidak mengerti, ia ingin bertanya, tetapi suaranya tidak terdengar oleh Dylan. Kenzie hanya terus berdiri, mengharapkan penjelasan dari Dylan apa yang telah terjadi.

Setelah sepuluh detik menunggu, tetap tak ada suara. Tetapi, Kenzie bisa mendengar bahwa Dylan kini sedang menangis, wajahnya yang tertutup kedua tangan, isakan tangis yang lolos terdengar, juga bahunya yang naik turun.

Kenzie merasa bingung, ia akhirnya berjongkok, memberanikan diri untuk menepuk pundak Dylan. Menepuk-nepuknya seakan mencoba menenangkannya.

Mendapat tepukan halus itu, Dylan baru menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia baru ingat bahwa ada Kenzie disini. Terburu-buru Dylan menoleh ke belakang, melihat Kenzie yang sedang bertampang bingung.

"Maaf, Ken." Ujar Dylan mengusap-ngusap wajahnya dengan kedua tangan.

Kenzie tersenyum ringan seraya mengangguk. "Enggak apa-apa." Tangannya menepuk bahu satu kali. "Ada apa? Uangnya masih kurang?" Kenzie bertanya lembut.

Dylan menggeleng seraya membuka telapak tangannya. "Kelebihan lima ratus."

Satu alis Kenzie terangkat. "Kok kelebihan, bukannya pas?"

"Gue di usir, Ken." Dylan berkata dengan mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah.

Namun akhirnya, Dylan kembali membelakangi Kenzie, ia kembali menutup mukanya dengan kedua tangan.

Tbc

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang