15.

271 44 6
                                    

Untung saja kafe disini harganya normal. Dylan bisa memesan mie ayam seharga lima belas ribu, dan es kopi seharga delapan ribu. Jadi, Dylan tak akan merepotkan siapapun untuk bisa meneraktir dirinya.

Teman-teman Kenzie semuanya baik, meskipun Dylan sangat canggung tetapi mereka terus membuat nyaman dengan silih bergurau, pelawak di geng ini adalah Danish dan Gilang. Mereka terus mengoceh tengang hal apapun. Kenzie dan Niko akan tetap tenang meskipun kadang-kadang mereka tertawa.

Pesanan sudah datang, dan meja sudah penuh oleh makanan.

Kenzie membeli bakso dengan kuah ekstra pedas. Di aduk-aduk dengan sangat hati-hati, karena takut akan berjatuhan. Dylan yang melihat kuah kemerah-merahan seperti itu menelan ludah dengan ngeri.

"Jangan terlalu pedes-pedes, Ken. Kebiasaan lo, ya, makan sampe warna merah gitu." Ujar Dylan memperingati. Pasalnya Dylan memang kurang suka pedes, melihat kuah itu rasanya Dylan sakit kepala tiba-tiba.

"Enak, kali, Dyl." Kenzie sedikit tertawa. "Gue kangen loh, masakan lo." Ujarnya dengan jujur.

"Gue juga kurang suka pedas." Niko menoleh Dylan. Akhirnya tatapan Dylan beralih pada Niko. "Perut enggak kuat, udahnya sakit perut."

Dylan tertawa dengan penuturan Niko. Karena apa yang dirasakan Niko sama juga yang sering Dylan rasakan ketika makan makanan dengan ekstra pedas.

Ini kali kedua Dylan makan bersama Kenzie, apalagi sekarang ia duduk bersama dengan teman-temannya. Mereka sangat membuat Dylan canggung, lihat saja keempat pemuda di samping Dylan, semua menggunakan seragam putih abu, dengan almamater SMA favorit. Sedangkan Dylan hanya memakai pakaian sederhana. Perbedaan mereka terlihat sangat kontras sekali. Dari segi penampilan, Dylan terlihat dengan wajah kelelahan. Sedangkan mereka begitu fresh tanpa memikirkan bagaimana hari esok.

Apalagi yang paling di benci Dylan terlihat sangat blak-blakan sekali. Setiap pengunjung, atau beberapa siswa siswi yang sedang nongkrong di kafe ini menoleh pada meja yang Dylan tempati. Tatapan risih itu terus membuat Dylan ingin cepat-cepat pergi. Sepertinya Kenzie dan teman-temannya membuat pengaruh sangat besar di sekolah ini.

Meskipun mereka berempat tidak perduli pada sekitar, mengabaikan tatapan-tatapan kagum dari sekeliling, Dylan tetap merasa tak enak. Seumur hidup, Dylan tak pernah mendapatkan perhatian seperti ini. Sejak ia bekerja di restoran.Enak, ia bekerja dibelakang. Yang awalnya buruh cuci piring, lalu naik pangkat menjadi chef, keberadaan Dylan masih selalu tidak terlihat oleh publik.

Seharusnya, dari tadi Dylan hanya menyerahkan uang kepada Niko, setelah itu pergi. Bukan menjadi seenggok pecundang yang di kerubuni laki-laki menawan disini.

"Dyl, makanannya enggak enak, ya?" Kenzie bertanya. Makan sudah beres, dan hanya makanan Dylan yang tersisa di atas piring.

Dari tadi, memang Dylan tidak fokus pada makanan, meskipun sebenarnya ia lapar. Namun, Dylan menghargai ke empat laki-laki yang tak pernah bersuara ketika makan sedang berlangsung. Ia tak mau membuat Kenzie dan teman-temannya terganggu. Sebab itu dari tadi, Dylan hanya mengaduk-ngaduk nasi goreng agar terlihat menikmati makanannya.

"Enak, kok." Ujar Dylan sedikit tersenyum. "Sebelum kesini gue udah makan."

"Hhmm" Kenzie mengangguk mengerti meskipun ia tak paham. Baru pertama kali Kenzie melihat Dylan tak menghabiskan makanan. Padahal Dylan pernah berbicara kalau makan harus di habiskan meskipun kita kenyang. Jangan sampai membuang makanan. Diluar sana, masih banyak orang kelaparan di tengah kita yang menghambur-hamburkan makanan. Kenzie ingat betul pesan Dylan seperti itu, ketika nasi goreng buatan Dylan terlalu banyak dan Kenzie sudah kenyang. Namun, bentuk kepeduliannya Kenzie habiskan makanan itu.

"Lain kali, lo coba deh soto betawinya. Enak, Dyl." Gilang mengusulkan dengan menunjuk menu soto betawi di atas papan kasir.

"Oh, iya enak?" Tanya Dylan berpura-pura antusias. "Lain kali boleh tuh makan soto disini." Ujarnya.

"Nanti, gue ajak lo kesini. Tapi tunggu gue jamput, ke sini kan jauh." Danish, laki-laki berambut berponi itu mengusulkan kembali.

"Boleh, banget. Gue tunggu." Meskipun Dylan tak mau, ia juga tak kuasa menolak ajakan basa basi temannya Kenzie.

"Jadi, ada apa, Dyl?" Tanya Niko. Niko duduk bersebelahan dengan Dylan. Ia menoleh ke samping bertanya pada Dylan.

Dylan merogoh saku celananya. Lalu menyerahkan uang lima ratus tiga puluh ribu di atas meja menggeserkannya ke hadapan Niko. "Sorry ya, Nik, gue baru sempet ngembaliin sekarang. Amanda baru gajian, jadi gue buru-buru ngelunasin. Makasih juga waktu itu lo baik banget bantuin bu Sopie bayarin obat. Kalau enggak ada lo, gue bakal buka baju sama celana buat di gadein." Dylan berkata dengan serius, dan ia tertawa ringan di akhirnya.

Kenzie melihat itu dengan rasa penasaran. Niko menemui Dylan di rumah sakit? Atau bagaimana?

Niko menggelengkan kepala seraya tertawa. "Padahal uang segini, Dyl, lo udah bela-belain datang jauh-jauh. Lagian, gue juga udah lupa sama uang ini." Niko berujar. "Tapi itu bagus, lo sama Amanda orangnya jujur. Kadang orang lain di baikin tapi di salah gunain. Gue terima, ya?"

Dylan mengangguk seraya tertawa, "Ambil aja, Nik. Sekali lagi makasih, bantuan lo berarti banget."

"Emangnya kalian ketemu dimana?" Tanya Kenzie penasaran. Kenzie yang duduk berhadapan dengan Dylan sedikit mencondongkan tubuhnya.

"Jadi gini, Ken, lo tau kan bu Sopie sakit stroke. Nah, tiga hari yang lalu beliau chek up, eh duitnya kurang lima ratus, untung banget gue ketemu Niko di rumah sakit dan dia ngasih pinjam. Sekarang baru bisa balikinnya. Thanks banget, Nik."

"Udah, Dyl, jangan bilang gitu mulu." Niko menjawab seraya menepuk bahu Dylan.

"Oh iya, ya, mbak Mahika Jovita lagi magang disana." Kata Danish. Ia bertanya setelah sibuk dengan ponselnya.

Niko mengangguk "Iya, kebetulan banget mbak Jo ketinggalan laptopnya nyuruh gue ngasihin kesana." Ujar Niko. "Takdir, ya, Dyl." Niko tertawa.

"Kita pulang. Ini udah sore, lo mau bantu Amanda lagi, kan, di laundry?" Tanya Kenzie menyeret tas punggungnya dengan buru-buru berdiri.

"Bil nya?" Teriak Niko pada pelayan.

"Totalnya dua ratus tiga puluh." Pelayan menjawab seraya menyerahkan nota pembayaran.

"Gue yang teraktir pake uang ini. Sisanya makanan yang enak dibungkus, mbak." Ujar Niko menyerahkan uang lima ratus tiga puluh yang sudah Dylan berikan.

Setelah mengatakan ini, Niko menoleh pada Dylan. "Itu buat makan malam. Lo, bu Sopie sama Amanda ... Jangan nolak Dylan, keliatan lo susah banget di kasih sesuatu." Niko melototi Dylan yang sudah menggeleng sedari tadi. Dan akhirnya Dylan mengangguk dengan rasa tidak enak.

"Padahal gue juga punya nyokap, tapi enggak di beliin sama si Niko." Danish berujar pada Gilang dengan tubuh lunglai mendekap Gilang.

"Gue juga punya nyokap tapi enggak di bungkusin." Gilang kembali mendekap Danish tubuhnya ikut melorot ke bawah.

"Nasib, nasib." Ujar mereka berdua berjalan menjauhi meja. "Dylan bakal jadi temen tersayang inimah." Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tubuh yang siap tumbang ke bawah.

Dylan dan Niko tertawa melihat dua temannya itu.

"Gue anterin, Dyl. Biar enggak kesorean." Kenzie memegang lengan Dylan. Dylan yang merasa tangannya tersentuh menoleh Kenzie. "Gue bawa motor."

"Enggak usah, Ken. Biar gue aja yang nganterin Dylan pulang. Kebetulan supir gue udah ada di depan." Niko menerobos omongan Kenzie, kepalanya menoleh mobil brio putih yang sudah terparkir di depan kafe.

"Naik motor biar enggak kena macet, biar cepet sampainya."  Kenzie menarik pergelangan tangan Dylan. Setelah pelayan memberikan pesanan buru-buru Kenzie membawa Dylan sedikit berlari.

Dylan yang merasakan itu sedikit linglung. Belum juga ia mengijinkan mereka untuk mengantar, namun sudah ada di ujung pintu masuk kafe.

Dylan melambai pada Niko yang masih terus melihatnya. "Nik, makasih, ya, sekali lagi!" Dylan berteriak sebelum suaranya melebur karena Kenzie menariknya sudah sampai jalan besar.

Tbc.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang