Baru kali ini Dylan bepergian jauh selain dulu ia minggat dari rumahnya. Apalagi, bersama dengan orang-orang yang sama sekali tidak terlalu dekat. Dylan selalu gugup dan tidak percaya diri berjalan dengan Kenzie juga ketiga temannya. Namun, mereka sepertinya paham bahwa Dylan tak enak hati, mereka sering mengajak Dylan berbicara agar tubuhnya bisa rileks.
Pergi ke Yogyakarta menggunakan kereta api. Sekarang, mereka menaiki taksi onlen untuk sampai di stasiun. Setelah masuk kedalam stasiun. Ternyata Kenzie akan pergi menggunakan kereta api Priority. Dylan pernah mendengar bahwa menaiki KA ini lumayan mahal. Takutnya, uang yang ia bawa kurang.
Setelah sampai di seat masing-masing, Kenzie tidak meminta apapun pada Dylan. Bahkan, tempat duduk Dylan disamping Kenzie, Gilang dan Danish berdampingan. Dibelakang, ada Niko yang duduk sendirian.
"Yang pesen tiket siapa?" Tanya Niko setelah pantatnya duduk di seat.
"Kenzie." Jawab Danish menoleh Niko.
Niko sudah menduga pasti saja Kenzie yang memesan tiket. Ia pasti dengan sengaja membuat Niko duduk dibelakang mereka sendirian.
Disisi lain, Kenzie tersenyum penuh kepuasan.
Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta memakan waktu sampai tujuh jam. Mereka bisa leluasa berbuat apapun di seatnya masing-masing. Karena ada layar mini dan colokan headset untuk mendengarkan musik. Baru pertama kali Dylan menaiki KA seukuran Priority. Ia masih kagum dengan desain yang nyaman seperti ini. Apalagi, kalau menaiki KA Luxury, seat yang mewah membuat kasta tertinggi dari jajaran Kereta Api.
Namun pasti saja dananya juga lebih mahal. Seatnya saja terbatas untuk satu gerbong.
Tiba-tiba ponsel Dylan berbunyi, pertanda telepon berdering. Nama GamGantenk terlihat di layar. Dylan tertawa melihatnya, karena yang menulis nama itu adalah Agam sendiri.
"Apa, Gam?" Tanya Dylan.
"Gue inget lo bang. Hati-hati dijalan, ya? Udah sampe mana?" Tanya bocah SMP itu.
Dylan tertawa. "Baru juga masuk KA."
"Tiap jam, telepon gue ya, bang Dyl. Biar gue enggak khawatir." Hembusan nafas di ujung telepon bisa Dylan dengar.
Setelah mengatakan ya, Dylan menutup sambungan teleponnya karena dari tadi Kenzie mengawasi Dylan dengan menatap serius. Setelah menyimpan kembali ponselnya Dylan menoleh Kenzie.
Kenzie mendelik seraya pandangannya melihat keluar jendela. "Gue pikir, cuma ada nomor gue doang, Dyl."
"Sebelum pergi, Agam masukin nomornya, Amanda juga nyimpen nomornya di ponsel ini." Dylan menjawab. "Katanya, biar gampang kalau ada apa-apa." Dylan memgakhiri.
Tak ada jawaban dari Kenzie. Ia masih membelakangi Dylan dengan pandangannya melihat keluar jendela.
Dylan berpikir, apa yang Dylan lakukan itu salah? Sepertinya, Kenzie memang tidak berniat untuk memberikan ponsel pada Dylan. Bukannya kalau Kenzie sudah memberikan ponsel itu ia tak keberatan jika di dalamnya ada kontak orang lain?
Dylan kembali mengambil ponsel itu disaku celananya, lalu menggapai tangan Kenzie, dan memberikan ponsel ke tangannya. Kenzie yang merasakan sesuatu langsung menoleh Dylan dengan wajah heran.
"Gue balikin ponselnya, Ken. Ini ponsel mahal, gue enggak layak pakai. Mending, lo jual aja." Ujar Dylan menatap Kenzie dengam lembut.
Namun, Kenzie malah terlihat geram. "Dyl, gue enggak butuh duit. Gue kasihin ke lo, dan lo mau balikin lagi?" Tanya Kenzie menatapa serius, namun sedikit penuh tekanan. "Kayak anak kecil." Tambahnya mengakhiri. Kenzie kembali menyimpan ponsel itu ke tangan Dylan. Lalu menekan tombol di sisi sebelah kursinya untuk menyenderkan tubuhnya, mata Kenzie terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...