"Bang Dyl, hari ini pulang, kan?"
"Iya, Gam, hari ini pulang. Paling nyampe sorean."
"Gue tunggu, ya, bang Dyl. Besok anter gue chek up ibu. Besoknya, gue pergi sekolah lagi." Hembusan nafas kekecewaan bisa Dylan dengar. Sepertinya, Agam hari ini sangat tidak bersemangat. Biasanya laki-laki empat belas tahun itu selalu energik. Namun sekarang, ia terdengar lunglai.
"Oke, besok gue anterin ibu chek up." Ujar Dylan. Kedua tangannya sibuk memasukan pakaian kedalam tas. Karena sebentar lagi mereka harus chek out dari hotel. "Lo lagi sakit? Lemes gitu."
"Enggak bang Dyl. Gue cuma kangen lo doang. Apalagi liat status lo sama si Niko si Kenzie yang keliatan mesra banget. Kan udah gue bilang disana lo jangan nakal bang!" Bentakan di ujung pembicaraannya bisa terdengar oleh Dylan. Nah, kali ini Agam yang sesungguhnya kembali lagi. Dylan tertawa dengan mengambil sepatu lalu sibuk memakainya.
"Di foto itu, gue keliatan ganteng. Jadi ya gue posting aja. Lumayan kan ada stok buat dijadiin foto profi---"
"Masih belum teleponannya?" Tanya Kenzie berhadapan dengan Dylan. Ia menoleh sebal ke arah Dylan yang tengah duduk di lantai.
Mendapati Kenzie yang berbicara seperti itu dengan otomatis langsung menutup sambungan teleponnya, dan langsung menonaktifkan ponselnya. Karena, Agam tak pernah berhenti untuk menghubungi Dylan.
Paginya setelah terbangun dari tidur. Dylan langsung mengecek ponsel. Ia melihat Kenzie yang mengirim beberapa foto selfie dan foto ootd dengan Dylan. Setelah meneliti, foto yang memang menurutnya bagus, Dylan kirim sebagai status whatsapp. Foto ootd saat Dylan dan Kenzie berpura-pura saling tertawa seraya berhadapan masing-masing. Menurut Dylan itu tampak lucu. Di foto itu Dylan menggunakan caption emot api.
Setelah Kenzie melihat status whatsapp Dylan, anehnya dia tidak merajuk lagi seperti semalam. Apalagi sampai berkata brengsek. Kenzie hanya menjadi Kenzie seperti biasanya, laki-laki yang pengertian. Terbukti saat ia mengajak makan di restoran hotel ini. Kenzie akan menjauhkan makanan pedas, dan mendekatkan makanan manis ke hadapan Dylan.
Namun, tampang menyeramkan itu kembali terlihat saat Dylan menjawab panggilan dari Agam. Entah mengapa, padahal Agam hanya bertanya kapan pulang. Sepertinya, perubahan suasana hati Kenzie gampang sekali berubah-ubah, membuat Dylan bingung sendiri.
"Eh gimana kalau sebelum pulang kita mampir dulu ke pantai. Parangtritis." Ujar Gilang dengan semangat.
"Bener tuh, udah lama kita enggak ke pantai." Danish mengikuti.
"Boleh, sekalian pulang kesana." Kenzie berantusias, menyetujui usulan Gilang.
Namun, Dylan masih membisu ditempat. Sudah enam tahun ia tak berkunjung ke pantai manapun. Lagi pula, Dylan tidak mau lagi bertemu pantai. Bertemu dengan air-air yang banyak. Kenangan mengerikan itu masih membekas hingga sekarang. Bahkan tak mungkin bisa hilang dari ingatannya. Seberusaha Dylan melupakan, semakin kenangan itu menyayatnya tajam.
"Gu ... Gue enggak ikut, ya? Kalian aja." Ujar Dylan akhirnya. Wajahnya terlihat sedikit lebih pucat. Keempat pemuda itu menoleh penasaran pada Dylan.
"Kenapa, Dyl? Bukannya waktu kecil lo sama Kenzie anak pantai? Ya, itung-itung ngingetin ke kempung halaman." Tanya Gilang.
Terjeda beberapa detik. Dylan sedang memikirkan alasannya, karena ia tak mungkin membeberkan apa yang sudah menimpa dirinya dan pantai. "Enggak, Lang." Ucap Dylan. "Tapi, kalian boleh banget mau ke pantai. Jangan peduliin gue, gue bisa pulang sendiri, kok. Takutnya, gue ngebebanin kalian." Dylan mencoba memecah kesunyian ini.
"Dyl!" Ucap Kenzie penuh penekanan. "Maksud lo apa? Lo enggak mau ikut terus lo mau cepet-cepet pulang karena di suruh sama si Agam?" Tatapan menyeramkan itu kembali Dylan lihat. Kenzie menatap dingin ke arah mata Dylan. Tatapan yang langsung menusuk jantungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...