Orang tua Kenzie sudah lebih dari satu jam pergi. Mereka di usir oleh Kenzie, karena ia merasa sangat sehat. Katanya, ada Dylan yang pasti akan membantu kalau terjadi apa-apa. Mereka dengan sangat enggan pergi meninggalkan Kenzie dirumahnya.
Bu Fara adalah ibu yang baik, sewaktu sekolah dasar, apapun kegiatannya pasti akan di dukung oleh ibunya. Ibunya masih muda, tetap awet muda dan sangat cantik. Apalagi ayah tirinya juga seseorang yang penyayang, tampan, juga terlihat wibawa meskipun berondong tiga tahun.
Dylan siap-siap akan tertidur, menaikan selimutnya sampai dagu. Namun, ketukan pintu kamar terdengar. Dylan kembali berdiri dan berjalan mendekati pintu, ia membuka pintu.
Pemandangan di depan, terlihat Kenzie yang sudah memakai piyama berwarna hitam bercorak putih, tangannya menenteng satu guling. Ia tersenyum halus seraya menggaruk bagian kepala belakangnya.
"Gue ... Boleh nginep?" Tanya Kenzie.
Dylan tertawa. "Boleh banget." Ujarnya. "Ini rumah lo, Ken. Aneh banget lo malah yang malu-malu."
Dylan dan Kenzie masuk ke dalam kamar. Untung saja, Dylan sudah benar-benar merapihkan kamar ini. Karena sebelumnya semuanya berantakan. Pakaian-pakaian kotor berserakan di lantai. Namun, setelah mempersiapkan kembali ke dalam tas, kamar ini terlihat lebih luas dari biasanya.
Dylan mencoba untuk tidur di bawah, ia takut jika membuat gerak Kenzie terbatas. Namun, Kenzie terus menerus meraih Dylan agar tidur di ranjang. Karena ranjangnya yang luas, juga Kenzie yang tak banyak gerak jika sudah tertidur. Akhirnya, Dylan menurut untuk tidur bersama Kenzie diatas ranjang.
Seraya menepuk bantal, Dylan berbicara. "Baru pertama kali ada temen tidur kayak gini."
Kenzie yang mendengarnya tertawa. "Serius, Dyl?" Tanya nya. "Emangnya temen-temen lo enggak pernah nginep?"
Dylan menoleh Kenzie disampingnya, dan Kenzie juga merebah menyamping menoleh Dylan. "Temen gue cuma satu, Amanda doang."
Sekian detik terjeda, tak ada jawaban dari Kenzie, ia hanya menatap acak kemana saja. Sepertinya, Kenzie sedikit gusar. Tiga detik selanjutnya, Kenzie berbaring menatap langit-langit.
"Sebenernya, alasan gue pengen pindah kesini buat bisa jauhin nyokap bokap." Akhirnya setelah di tahan-tahan Kenzie mulai bercerita.
Dylan membenarkan selimutnya. Ia bertanya. "Kenapa? Bukannya nyokap bokap lo baik banget. Kenapa mesti dijauhin?"
Menyetujui, Kenzie mengangguk satu kali. "Gue cuma belum bisa nerima perceraian nyokap sama bokap." Kenzie masih meneliti langit-langit kamar. Meskipun disana tak ada apa-apa. Namun ia tak terusik sama sekali. "Waktu gue lulus SD, bokap udah enggak serumah lagi. Dan akhirnya kelas dua SMP nyokap nikah sama papa Roy ... Tentu aja awalnya gue enggak terima, gue sayang banget sama bokap gue. Tiap liat papa Roy mesraan sama nyokap, gue sakit hati. Ya, meskipun bokap gue juga udah nikah lagi. Tapi, seberusaha mungkin gue mencoba, dinding yang bikin gue sulit melangkah tebel banget. Gue enggak bisa tembus dinding itu."
Dylan menerobos masa lalu, beberapa tahun ke belakang ia ingat. Pak Quentin juga bu Fara pasti akan datang jika urusan sekolah. Mereka terlihat sangat romantis juga serasi. Setiap saatnya bergandengan tangan. Senyum menawan dari keduanya terlihat sangat berwibawa.
Pikiran Dylan, semua kebahagiaan bisa Kenzie rasakan. Orang tua yang baik, keadaan ekonomi yang mendukung, dirinya yang sangat sempurna. Namun, dari dalam kehidupan keluarganya Kenzie juga merasakan menderita. Kenzie yang terkenal bahagia hingga membuat iri orang lain, bisa juga sakit hati.
"Sorry ya, Ken." Dylan memberanikan diri. "Kalau boleh tau, nyokap bokap lo pisah karena apa?" Tanya nya. Kenzie berbaring menyamping menoleh Dylan. "Sorry juga, tadi gue sempet mikir kalau pak Quentin udah meninggal. Terus bu Fara nikah lagi sama pak Roy."
Kenzie tertawa ringan sembari tangannya menyentil kening Dylan. Dylan yang merasakannya mengusap-ngusap kening dengan bibir mengerucut. "Lo tuh, pikirannya." Kenzie kembali tertawa. "Bokap gue masih idup, dua tahun yang lalu dia nikah lagi sama janda anak satu."
Kenzie melanjutkan. "Disana puncaknya rasa sakit yang gue rasain ... Gue pikir, bokap masih cinta sama nyokap. Tapi, ya, dia akhirnya nikah juga."
"Gue pernah Dyl nanya sama nyokap kenapa mereka bisa pisah, sementara yang selama ini gue rasain mereka biasa-biasa aja, enggak ada masalah sama sekali. Nyokap enggak pernah jawab apa-apa. Suatu hari, gue ngurung diri di dalam kamar. Gue mikir, situasi ini enggak ada dalam daftar kehidupan gue, gue enggak pernah nyangka bisa jadi anak broken home. Apalagi awal-awal mereka pisah nyokap sering enggak pulang ... Gue akhirnya sadar, kalau gue anak terbuang." Kenzie yang memang terbaring menyamping menoleh Dylan akhirnya tidur telentang menatap langit-langit kembali.
Dylan bisa merasakan, meskipun kehidupannya masih sangat menyeramkan. Tetapi untuk seukuran Kenzie, rasa sakit yang nyata itu pasti membuatnya terluka. Dylan tak habis pikir, semua kesenangan bisa Kenzie genggam. Namun, yang Kenzie inginkan adalah kasih sayang ibu dan ayahnya.
Bagi sebagian orang perceraian adalah hal yang menakutkan. Bisa jadi, Kenzie adalah termasuk di dalamnya.
Kenzie hanya seorang laki-laki kesepian. Tetapi, ia bisa menyeimbangkan ektingnya di depan orang tuanya. Meskipun di dalam ia sakit hati, tetapi di luar Kenzie mencoba berdamai dengan keadaan. Contohnya, ia bisa saja bermusuhan dengan pak Roy, menunjukan bahwa Kenzie tak suka dengannya. Namun, Kenzie memilih bahwa semuanya seolah tidak terjadi apa-apa dalam dirinya.
Dylan merasa salut dengan Kenzie.
"Seumur hidup itu terlalu lama." Ujar Kenzie setelah beberapa detik terjeda. Dylan menoleh Kenzie. "Itu adalah kalimat pertama yang gue denger dari nyokap setelah gue ngurung diri dikamar."
Dylan mengangguk mencoba memahami situasi Kenzie waktu itu. Kenzie melanjutkan. "Nyokap memang masih sayang sama papa gue, tapi dia bilang jika bersama seumur hidupnya, itu terlalu lama." Seakan menerobos masa lalu, mata Kenzie berhenti di satu titik, seakan kejadian-kejadian yang menyakitkan itu kembali terlintas di titik sana. "Gue enggak ngerti maksudnya apa. Tapi, setelah nikah sama papa Roy, nyokap gue jadi makin sering senyum. Makin sering ada di rumah. Makin sering masak masakan kesukaan gue."
Terjeda, Kenzie menghirup udara untuk menetralkan pikirannya. "Justru itu yang bikin gue pengen minggat dari rumah. Kemesraan mereka bikin gue enggak betah." Ujar Kenzie. "Gue ngerasa hampa."
Refleks, Dylan menepuk-nepuk tangan Kenzie untuk sekedar menenangkannya dari masa lalu. Kenzie merasakan tepukan halus itu, ia menoleh dan tersenyum dengan perlakuan Dylan.
"Jadi, itu alesannya lo enggak betah dirumah?" Tanya Dylan dengan hati-hati. Ia takut menyinggung perasaan Kenzie yang ternyata Kenzie sangat sensitif.
Ia mengangguk sebagai jawaban. "Gue enggak pernah bisa tidur kalau pulang. Seterluka itu gue, ya, Dyl?" Kenzie tertawa hambar.
Ternyata, Kenzie bisa menyembunyikan suasana hatinya dengan apik. Awalnya, Dylan merasa cemburu dengan Kenzie. Namun, sekarang Dylan merasa kehidupan Kenzie tidak lebih dari sekedar kesepian. Sama seperti yang Dylan rasakan. Melanjutkan hidup dengan kesepian pasti sangat sakit. Meskipun terlihat kuat diluar.
"Kok gue jadi curhat gini, ya?" Kenzie tertawa dan malu sendiri. "Temen-temen gue bertiga enggak pernah denger sekalipun curhatan gue, apalagi tentang masalah ini. Mereka taunya papa Roy papa biologis gue." Ujarnya. "Sekarang, giliran lo yang cerita, Dyl." Kenzie menghadap Dylan, wajahnya berantusias siap-siap menunggu jawaban dari lawan bicaranya.
"Hidup gue gitu-gitu aja sih, Ken. Enggak ada yang istimewa." Dylan menjawab.
"Gue pengen nanya. Waktu kelas enam SD lo berubah jadi lebih pendiem, sering menyendiri, ngehindar dari temen-temen yang lain. Itu kenapa?" Tanya Kenzie menoleh penasaran.
Tiba-tiba jantung Dylan berhenti beberapa detik, saat itu adalah saat paling terpuruk semasa hidupnya. Anehnya, Kenzie menyadari saat itu. Dylan pikir semua orang tidak bertanya karena mereka tidak tau tentang perubahan drastisnya itu.
Dengan sedikit tergugup, Dylan menggeleng seraya tertawa dipaksakan. "Enggak ada apa-apa. Yuk tidur, besok pagi gue harus kerumah Amanda."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...