Seberusaha apapun Dylan menolak, Kenzie tetap memaksa untuk tinggal dirumahnya. Berdalih bahwa sudah malam, juga sangat sulit mencari kontrakan yang murah. Kontrakan paling murah di kota sebesar satu setengah juta. Dylan sangat betah tinggal di kontrakan bu Serli karena murahnya. Kalau bu Serli dari dulu juga orang yang gampang marah.
Memang ada benarnya apa yang dikatakan Kenzie, apalagi Dylan juga tidak ingin merepotkannya lagi. Maksudnya, ia jadi tidak perlu untuk membayar uang sewa kontrakan. Kata Kenzie, uang simpanan Dylan mending di pakai buat kebutuhan sehari-hari, daripada ia harus menghamburkannya demi kontrakan yang pasti harganya tidak akan sama dengan kontrakan milik bu Serli.
Rumah Kenzie sangat sederhana sekali, hanya ada dua kamar tidur dengan masing-masing didalamnya ada kamar mandi. Setelah membuka pintu depan, ruang tamu dengan sofa minimalis berwarna abu-abu. Dipisahkan oleh akuarium yang sangat besar adalah ruang tamu dengan televisi tiga puluh dua inc. Disampingnya ada dapur lengkap dengan peralatan masak juga ada kamar mandi kecil untuk tamu.
Kamar dua saling berdempetan. Banyak foto-foto Kenzie dan teman-temannya di samping kamar depan.
Dylan duduk di sofa setelah di persilahkan oleh pemilik rumah. Kenzie berjalan ke dapur seraya membuka jaketnya. Lalu datang kembali membawa sirup kehadapan Dylan. Dylan tersenyum. "Makasih, Ken."
Kenzie ikut duduk disamping Dylan. "Nyantai, Dyl." Ujarnya. "Besok gue pesenin taksi onlen buat bawa barang-barang lo yang lain." tutur Kenzie.
Dylan hanya mengangguk tak tau harus bersikap bagaimana. Sewaktu sekolah dasar dulu, Kenzie memang anak yang royal pada siapapun. Dia selalu membantu teman-temannya jika membutuhkan. Tetapi, Dylan tidak termasuk dalam daftar temannya. Dylan juga memang kurang suka dengan Kenzie sedari dulu. Namun sekarang, ia malah bersyukur mempunyai teman yang mengerti seperti Kenzie.
"Rumah lo sepi, ya, Ken." Kedua bola mata Dylan menyapu seluruh ruangan. Setelah apa yang ia cari tidak ada, Dylan kembali menoleh Kenzie. "Nyokap bokap lo, kemana?"
"Ada dirumahnya." Kenzie menjawab. "Minum dulu, Dyl." Titah Kenzie menunjuk minuman dengan dagunya.
"Dirumahnya?" Tanya Dylan tidak mengerti. "Ini bukan rumah ortu, lo?" Dylan mengambil air minum lalu meneguknya.
"Ini rumah gue." Jawab Kenzie. "Rumah ortu gue lumayan jauh dari sekolah, jadi gue beli rumah ini." Ia menjawab dengan memainkan ponselnya secara tenang.
Dylan yang mendengar itu langsung terbatuk, ia tersedak oleh air yang ia minum sendiri. Bahkan dengan tololnya, air memuncrat ke depan. Buru-buru Dylan mengambil tissue yang sudah di siapkan di atas meja. Dengan sendirinya Kenzie juga mengambil tissue lalu diberikan pada Dylan, setelah Dylan mengambil tissue itu, ia segera meminta maaf.
"Minumnya pelan-pelan, Dylan." Kenzie malah tertawa dengan kepalanya menggeleng lucu.
"Sorry, sorry." Ujar Dylan. "Jadi, ini beneran rumah lo?" Tanya Dylan memastikan.
Kenzie mengangguk.
Ia memang tau bahwa Kenzie adalah orang kaya dengan dua perusahaan yang berjaya. Tetapi, Dylan tak habis pikir bahwa Kenzie juga bisa membeli rumah dengan mewah seperti ini. Jelas sekali bahwa rumah ini mewah, meskipun minimalis tapi sangat modern, apalagi perabot-perabotnya terlihat mahal.
Alasan ia punya rumah juga tidak masuk akal. Menurut Dylan, Kenzie bisa naik motornya sendiri untuk sampai sekolah, atau mobilnya sendiri diantar oleh sopir. Tetapi, ia malah membeli rumah.
Seorang murid kelas tiga SMA mampu membeli rumah dengan harga ratusan juta. Apa itu masuk akal? Ya, meskipuj Dylan tau bahwa itu bukan uang Kenzie sepenuhnya. Pasti ada campur tangan dari kedua orang tua Kenzie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...