"Seharusnya lo enggak kayak gini, lo keliatan pengecut sama kelakuan asli lo!"
"Gue enggak nyangka lo bisa berubah sederastis ini. Dulu, lo anak baik. Bukan pemabuk!"
"Belajar dari mana lo, hah, mabuk-mabuk kayak preman? Ini pasti nyokap bokap lo enggak tau kelakuan lo begini."
"Kalau lo sampai over dosis terus mati mau gimana!?"
"Dyl, kamu udah marah-marahnya? Aku lagi makan." Ujar Kenzie menoleh Dylan yang duduk didepannya.
Dylan langsung mengatupkan mulutnya. Ia baru sadar bahwa mulutnya tak berhenti memarahi Kenzie. Dari mulai Dylan memanaskan masakan, sampai menata makanan untuk Kenzie, mulutnya tak bisa diam. Hanya saja Dylan benar-benar geram tentang apa yang Kenzie lakukan. Sesusah apapun kehidupannya, Dylan belum pernah menenggak minuman keras itu.
Kenzie yang melihat Dylan diam, tersenyum, lalu melanjutkan makannya tanpa kebisingan. Setelah Dylan menyiapkan air hangat untuk Kenzie mandi, karena sudah jam tiga pagi, Dylan juga yang mengatur semua keperluan Kenzie.
Saat ini, Kenzie hanya ingin bertingkah layak untuk Dylan, dimulai dengan menghapus 'lo gue' diganti dengan 'aku kamu' karena sepertinya, Dylan juga nyaman ketika Niko merubah seperti itu.
Selesai makan, Kenzie menatap Dylan yang juga ia selesai makan. Ada sesuatu yang hangat saat melihat Dylan ada dirumahnya, seperti beberapa saat yang lalu.
Dylan kini sibuk membereskan piring-piring kotor lalu mencucinya. Kenzie tak beranjak dari kursi, ia hanya memijit kedua pelipisnya, rasa pening masih menerjang kepala, biasanya pusing itu akan benar-benar hilang setelah sehari semalam. Namun, karena minuman yang kuat, Kenzie tidak tau kapan rasa peningnya akan benar-benar sembuh.
"Lo tidur lagi." Titah Dylan, "Tiga jam lagi sekolah, gue juga harus balik kerumah Amanda."
Kenzie menoleh Dylan seraya tangannya tak lepas dari pelipis. "Dyl, kamu balik kerumahku lagi, ya. Tiap hari aku antar jemput kalau mau kerja ke rumah Amanda."
Namun, mendengar Kenzie berbicara dengan menggunakan 'aku kamu' membuat Dylan geli sendiri, ia tidak terbiasa dengan panggilan itu. Apalagi keluar dari mulut Kenzie, tidak enak didengarnya.
Dylan tertawa. "Aku, kamu?" Ujarnya. "Lo enggak pantes bilang gitu, Ken."
"Enggak pantes?" Tanya Kenzie dengan nada naik. Ia menoleh tajam ke arah Dylan. "Ya, gue enggak pantes ngomong halus. Beda sama Niko!" Kenzie mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat pada Dylan. "Sejak kapan lo jadi deket sama si Niko, hah?"
Melihat mata menyeramkan milik Kenzie, Dylan sedikit takut, namun ia masih menjawab. "Lo bilang, lo suka sama gue, tapi buktinya lo kasar! Kalau lo emang suka beneran lo bakal ngaca dari Niko!"
Mendengar Dylan membandingkan dengan Niko, hati Kenzie sedikit memanas. " Gue emang bego, kenapa gue bisa suka lo, laki-laki brengsek yang enggak pernah liat gue!" Kenzie menaikan nadanya. "Gue stres Dylan! Gue stres tiap inget lo! Gue gila denger lo nolak gue kemarin, lo malah milih si Niko yang cuma tau selewat doang!" Debaran emosi yang meluap akhirnya Kenzie tumpahkan saat ini juga. Di depan Dylan, di depan orang terkasih, di depan orang yang selalu ia idam-idamkan.
Kenzie sudah tidak perduli dengan rasa pertahanan terhadap Dylan. Yang Kenzie inginkan Dylan paham bahwa apa yang sudah Kenzie katakan bukanlah kebohongan. Biarlah Dylan tau sisi terlemah yang Kenzie punya, sisi terlemah Kenzie adalah Dylan sendiri. Sisi ini belum pernah orang lain lihat. Ketika Kenzie berkata dengan lantang seraya memohon hanya karena Dylan.
"Lo pernah liat gue dikit aja? Enggak, Dyl! Dari SD gue coba deketin lo, lo ngehindar. Waktu kelulusan SD gue pengen foto berdua lo lari ninggalin gue! Sekarang? Bahkan seberusaha gue bersikap baik di depan lo, lo masih enggak terima! Sejijik itu lo deket sama gue, hah!?" Di ujung pembicaraan, Kenzie menggebrakan meja. Kedua matanya memanas menahan untuk tidak terlalu lemah. Namun, rasa sakit yang Kenzie rasakan amat nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...