36.

251 30 7
                                    

Suasana kota Jakarta di guyur hujan sudah sedari tadi. Akhir-akhir ini, cuaca menjadi tidak menentu. Waktu dirumah Niko cuaca sangat panas. Sedangkan dengan hitungan jam berubah saat mendung menyerang dan hujan pun turun dengan lebatnya.

Dylan berdiri menoleh jendela. Melihat langit-langit yang menangis membuat Dylan teringat apa yang sudah di ucapkan pak Tian. Dylan sadar diri bahwa dirinya menjadi obat untuk menebus rasa rindu, Dylan tak bisa berkata tidak, karena kehilangan membuat dirinya mengerti tentang keadaan. Namun, jika untuk memenuhi permohonan Tian tentang Dylan pindah. Sepertinya itu sedikit berlebihan. Dylan tak tau mereka siapa, meskipun title pak Tian juga Mahika terlebih Niko bisa Dylan baca dengan jelas. Tetap saja, Dylan tak mungkin secara tiba-tiba menjadi salah satu keluarganya.

Melihat dari sorot juga gestur pak Tian sangat membuktikan bahwa dia sungguh merindukan sosok Noah, dan Dylan amat prihatin tentang itu.

"Dyl?" Tanya seseorang dengan suara lembut.

Dylan menoleh ke belakang dengan wajah datar.

"Jangan ngambek." Rayunya. "Itu semua enggak penting."

"Enggak penting?" Tanya Dylan berjalan mendekati laki-laki yang masih memakai handuk itu. "Ken! Gue kayak orang bego. Lo sama Naya udah tau gue deket sama kalian. Tapi dari kalian enggak ada yang bilang apapun."

Sedang mendengarkan Dylan berceloteh Kenzie berjalan mendekati sofa, lalu mengambil kaus tanktop dan celana pendek.

"Coba jelasin, lo kenapa bisa tau kalau gue mantannya Naya?" Tanya Dylan meminta haknya.

Setelah memakai kaus tanktop dan memakai celana, Kenzie menoleh Dylan dengan datar. "Status lo dulu sebucin itu sama Naya." Ujar Kenzie akhirnya.

Dylan terdiam, penuturan Kenzie memang benar adanya. Sewaktu Naya bersamanya, semua status whatsapp Dylan semua tentang Naya. Kebahagiaan Dylan terlihat jelas disana. Sedangkan sewaktu dulu Kenzie bertemu Dylan di restoran mereka bertukar no whatsapp, setiap kali Dylan membuat status setiap itupulan nama Kenzie Lorenzo Quentin orang pertama yang akan melihatnya.

Dylan menarik nafas "Terus, kenapa lo enggak bilang sama gue kalau lo kenal sama Naya?"

Kenzie menaikan satu alisnya. "Buat apa? Kan udah gue bilang enggak penting!" Kata Kenzie. "Gue udah terluka nyimpan perasaan brengsek ini selama 10 tahun. Terus lo pengen gue bakar diri sendiri buat nanya sama lo 'Dyl pacar lo temen sekolah gue, sekarang dia juga udah jadi saudara tiri gue'." Ucap Kenzie seraya mulutnya berbicara dengan nada mengejek. "Lo seneng banget bikin gue mati pelan-pelan." Ujar Kenzie datar.

Dylan membisu.

Mungkin apa yang Kenzie ucapkan memang benar. Untuk apa Kenzie menyakiti dirinya sendiri sedangkan Kenzie sendiri punya rasa terhadap Dylan. Seharusnya, Dylan harus mulai mencoba membuka mata dengan lebar. Lihat sekelilingnya, karena terlalu banyak orang yang menyayangi dirinya dari pada meratapi kehidupannya.

Tiba-tiba, ponsel Dylan berdering pertanda panggilan masuk. Kenzie menoleh ke arah ponsel yang sedang di charger di samping ranjang. Lalu berjalan mendekatinya. Karena tak ingin ponselnya di rampas oleh Kenzie, Dylan berlari untuk cepat sampai. Namun Kenzie juga berlari, dan akhirnya ponsel Dylan dengan mudah ada di genggaman tangan Kenzie.

Nicholas

Nama itu kini tengah mencoba menelepon. Kenzie naikan satu alisnya menoleh Dylan, dan memberikan ponselnya pada Dylan. Dengan senang hati Dylan mengambil ponsel dari tangan Kenzie. Sesaat akan menjawab, Kenzie menatap tajam manik hitam milik Dylan.

"Lo angkat telepon, gue lempar dari ketinggian 7 lantai." Ujar Kenzie, mengunci mata Dylan. Dylan terperangah, menjauh dari hadapan Kenzie. Tetapi, Kenzie masih setia terus mendekati Dylan. "Lo enggak tau orang yang udah bucin tingkat kewarasannya rendah? Bukannya gue nakutin, tapi gue udah capek bertingkah normal di depan lo."

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang