38.

240 29 8
                                    

Lagi-lagi, mungkin karena Dylan tertidur cukup nyenyak. Ia bahkan tak sadar di dalam kamar hotel hanya dia sendiri.

Dylan celingukan kesana kemari, mencoba menemukan Kenzie. Namun, laki-laki berambut sedikit pirang itu tidak ada diruangan. Setelah mata Dylan menoleh masih ada pakaian Kenzie yang berserakan dilantai, Kenzie tidak menghilang. Laki-laki itu hanya pergi membasuh tubuhnya di toilet.

Dylan menguap lebar, meregangkan otot-otot tangan dan lehernya. Menggeliat lagi di tempat tidur, badannya kembali dibungkus selimut.

"Kenzie." Suara Quentin terdengar di pintu luar seraya ketukan pintu nyaring menggema.

Dylan segera bangkit terduduk. Lalu menoleh ke arah toilet yang masih berbunyi air. Jika nanti Kenzie di beritahukan ada papanya, pasti lelaki bipolar itu akan menyeringai dengan telanjang, bukannya membuka pintu menemui ayahnya.

Akhirnya, Dylan bangun, lalu merapikan pakaiannya, juga menyisir rambut dengan jari-jari.

Setelah dirasa pas, Dylan berjalan mendekati pintu, dan membuka pintu.

Quentin, Vana juga Naya sudah terlihat sangat tampan dan cantik. Mereka tersenyum untuk menyapa Dylan.

"Kenzienya masih di toilet, om." Ujar Dylan.

"Oh iya, kalau begitu om titip pesan ya. Om pamit ke Makassar sekarang, jadwal keberangkatan sebentar lagi. Bilangin ke Kenzie selama seminggu Naya akan menginap dirumahnya." Quentin menjelaskan.

Dylan tiba-tiba terdiam.

"Tolong ya Dylan, titip Kenzie sama Naya. Tante sama  om pamit." Vana menepuk bahu Dylan dengan halus.

Dylan mengangguk tanpa sadar.

Setelah perpisahan Naya dan orang tuanya. Gadis yang sudah menjadi mantannya itu kini tengah duduk di sofa. Bermain ponsel.

Sedangkan pikiran Dylan terlalu rumit. Entah karena dia adalah mantannya suasana hati Dylan gelisah. Atau apakah mendengar bahwa Naya dan Kenzie akan satu rumah selama seminggu. Sedangkan mereka berdua memang adik kakak tiri. Namun, mendengar Naya tentang pengakuan rasa sukanya pada Kenzie malah menjadi pikiran sendiri. Diantara dua itu, Dylan tak tau hatinya risau karena apa.

"Dyl, semalem kamu enggak kenapa-napa? Tiba-tiba Kenzie marah besar." Tanya Naya menoleh Dylan yang masih berjalan dengan edaran pandangan kosong.

Dylan berhenti "Aku enggak kenapa-napa, Nay." Jawabnya tersenyum.

Pintu toilet terbuka. Kenzie sedang mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil. Juga tubuhnya yang setengah telanjang tertutup oleh handuk lainnya.

Setelah menoleh, ternyata Naya sedang menatapnya. Mata laparnya tak berkedip-kedip. Kenzie berjalan tenang, untuk mendekati Dylannya yang berdiri di samping jendela. Setelah jarak diantara keduanya hanya beberapa inchi. Kenzie berbicara dengan menggunakan nada tinggi. "Dyl, kita berdua enggak pesan lonte, kan? Kok ada pelacur yang duduk."

Mendengar ini, refleks Dylan langsung menoleh Kenzie dengan wajah memerah karena marah. "Mulut lo Kenzie!!" Tangan Dylan menempeleng kepala Kenzie.

Naya langsung menunduk, rasa sakit hati menjalar di setiap sel sel darahnya. Setaunya, Kenzie tak pernah berbicara di depan Naya sendiri. Kenzie hanya akan pergi menjauh tanpa bersua. Tetapi, ketika laki-laki yang tiga tahun Naya kagumi mengeluarkan kata-kata, semua perkataannya adalah umpatan. Naya sudah kebal dengan omongan Kenzie terhadapnya. Namun, mendengar Kenzie berbicara seperti itu membuat Naya terluka.

Dylan berjalan mendekati Naya.
"Nay, jangan dianggap omongan orang bipolar, ya? Tau sendiri itu penyakit."

Kenzie tertawa menakutkan mendengar penuturan Dylan.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang