"Kenzie, ini gue harus gimana? Badan lo panas banget."
Dari tadi Kenzie memang tidak terlihat sehat, dari mulai ia memijit pelipis, makanan yang tidak di habiskan. Selama sarapan pagi, Kenzie selalu menghabiskan makanan yang sudah Dylan siapkan. Entah itu makanan berat seperti nasi, atau hanya sarapan roti oles saja. Namun, untuk pertama Kenzie bahkan hanya menggigit satu kali sandwich, banana cake yang Dylan buat tidak di sentuh sama sekali.
Awalnya Dylan berpikir positif bahwa Kenzie hanya tidak suka chicken sandwich buatannya. Namun ketika Dylan akan bersiap-siap pergi, seraya menenteng kedua tas, kepala Kenzie tertidur di atas meja makan.
Dylan berbicara untuk pamit dan memohon maaf telah menumpang selama tiga bulan. Tapi tidak ada respons dari Kenzie. Memberanikan diri tangannya menggapai dahi, keringat dingin namun keningnya yang panas membuat Dylan panik sendiri.
Dylan memang jarang sakit, dan sekalinya ia sakit ia merasa bodo amat, tidak perduli, karena hanya untuk tiga hari demamnya pasti hilang. Kalaupun sakitnya agak parah, ia hanya akan membeli obat warung. Setelah itu sembuh sendiri.
Berbeda dengan sakitnya milik orang kaya. Demam yang Kenzie rasakan membuat Dylan panik, ia bingung sendiri harus berbuat apa. Karena sakit untuk orang lain pasti berbeda-beda.
Tetap tak ada respon dari Kenzie, dengan berusaha Dylan kembali mengguncang-guncang bahunya. "Ken?" Tangan Dylan menepuk pipi Kenzie. "Kenzie, mau ke rumah sakit?" Tanya nya lagi. Kenzie masih tetap terdiam dengan mata menutup.
Gusar, Dylan berjalan kesana kemari tak tau harus bagaimana.
Oke, oke, langkah pertama Dylan harus mengatur nafas terlebih dulu. Atur pikiran bahwa ini hanya demam, bukan masalah serius. Kedua, ambil handuk kecil lalu siapkan air di dalam baskom kecil, mencoba mengompres seraya memberiskan keringat-keringat yang mulai berjatuhan. Ketiga, Dylan harus membawa Kenzie masuk ke dalam kamarnya. Membiarkan Kenzie terbaring, bukan terbungkuk duduk di meja makan seperti ini.
Dylan kuatkan kuda-kuda untuk bersiap membawa Kenzie. Namun hampir lima menit Dylan mencoba tubuh Kenzie yang memang berat membuat Dylan kepayahan.
Sekali lagi, tangannya sudah di pundak, dengan berusaha membuat Kenzie agar dapat berdiri. Akhirnya, tubuh Kenzie sedikit ringan. Dylan mendongak, dan Kenzie sedang menolehnya dengan mata sayu.
"Masuk ke kamar lo, Ken, biar bisa rebahan." Ujar Dylan memapah Kenzie. Tak ada jawaban dari sang empu. Namun Kenzie melonggarkan berat tubuhnya. Hanya berpangku tangan ke pundak Dylan untuk menyeimbangkan berat tubuhnya.
Setelah membuka pintu, kamar besar dengan amat rapi juga desain yang luar biasa terlihat di depan mata Dylan. Ia baru pertama masuk kedalam kamar Kenzie. Ruangan yang sederhana namun langit-langit begitu indah dengan hiasan langit sungguhan. Dindingnya berwarna hitam, tetapi lukisan-lukisan 3D membuat Dylan terperangah terkejut. Gambar langit malam, disetiap bintang-bintang kecilnya bercahaya. Gambar astronot yang berhenti tepat di tengah bulan terlihat sangat elegan. Dylan akhirnya tau, bahwa selera Kenzie benar-benar tinggi.
Setelah merebahkan Kenzie, Dylan berjongkok melihat kondisinya.
"Ken, gue anter ke rumah sakit, ya?" Tanya Dylan. "Badan lo panas banget."
Kenzie mengangguk, menyetujui.
Melihat Kenzie mengangguk, Dylan bernafas lega. Namun, sedetik kemudian ia menepuk jidatnya sendiri dengan panik.
"Tapi gue enggak bisa naik motor, Ken" Ujarnya. "Oh iya, gue pesenin taksi onlen aja, ya?"Kenzie tersenyum mendengar pernyataan Dylan, lalu ia menggeleng. "Telepon pak Reza, aja, Dyl." Kenzie menunjuk ponselnya yang tersimpan di samping ranjang.
Setelah menelusuri nama kontak di ponsel Kenzie, dan bertemu nama pak Reza, Dylan mulai menelepon, dan langsung menjawab.
"Hallo den Ken. Ada apa?"
"Pak Reza? Ini saya Dylan temennya Kenzie." Ujar Dylan sedikir terburu. "Kenzie lagi demam, mau saya bawa ke rumah sakit tapi saya enggak bisa bawa motor, Kenzie bilang pak Reza kesini aja."
"Baik den Dylan saya kesana sekarang."
O U R S T O R Y
Sebenarnya, Dylan pernah berada di posisi menakutkan seperti ini. Dulu saat usianya sebelas tahun. Kejadian menakutkan itu melintas di kehidupannya, membuat Dylan amat trauma. Kehilangan seseorang yang begitu penting akhir dari masa kecilnya. Dylan menyesali kesalahan yang telah di perbuatnya.
Saat ini, Dylan tak mau kehilangan Kenzie, laki-laki yang Dylan benci tetapi membantunya untuk meneruskan hidup. Meskipun Dylan tau bahwa Kenzie tidak apa-apa, tetapi rasa takutnya membuat Dylan cemas.
Sepuluh menit menunggu, namun dokter tak kunjung juga membuka pintu. Dylan hanya ingin memastikan Kenzie tidak apa-apa. Kepalanya tiba-tiba pening sedari tadi, keringat keluar membanjiri kaus hijau army hingga kaus itu berubah samar. Kaki yang tak mau diam di tempat, berjalan kesana kemari hanya untuk menenangkan pikirannya, dan tetap saja Dylan tak bisa berhenti khawatir.
Suara pak Reza terus memanggil Dylan untuk tetap tenang, untuk bisa duduk sekedar mengistirahatkan tubuhnya. Dylan tetap tuli, menghiraukan pak Reza.
Ketika pintu terbuka, Dylan berlari menghampiri dokter, tubuhnya yang bergetar memaksa untuk tetap berdiri.
"Gimana temen saya, dok?"
"Dia hanya kurang istirahat, sekarang lagi di infus buat gantiin energi yang hilang. Setelah cairan infusan habis, pasien atas nama Kenzie Lorenzo Quentin boleh pulang." Dokter menjawab seraya tersenyum.
Dylan mengangguk mengerti, dan dokter pergi. Setelah menghembuskan nafas lega, juga mengusap keringat dari dahi, Dylan menoleh keruangan Kenzie.
Berlari, meskipun jaraknya hanya beberapa langkah Dylan berlari untuk cepat sampai. Di depan, Kenzie menoleh Dylan yang berlari, ia tertawa gemas seraya menggeleng dengan kelakuan Dylan. Tangan kirinya di infus. Sekarang, Kenzie terlihat lebih segar.
"Sumpah Ken, lo bikin gue khawatir!" Dylan menepuk bahu Kenzie. Namun, matanya tiba-tiba berembun, cairan kristal yang sedari tadi di tahan akhirnya terjun bebas tanpa di perintah. Dylan membelakangi Kenzie ke arah lain, sedangkan kedua tangannya sibuk mengusap-ngusap air mata. Mencoba menghilangkan barang bukti bahwa Dylan kini tengah menangis.
"Dyl?" Tangan Kenzie memegang lengan Dylan. "Lo ... Nangis?" Tanya nya.
Tak ada jawaban yang keluar dari lawan bicaranya. Tetapi, Kenzie bisa mendengar secara samar bahwa Dylan terisak.
Kenzie mencoba untuk duduk, dengan susah payah, ia akhirnya bisa duduk. "Dyl, sorry, sorry kalau gue buat lo khawatir. Gue enggak apa-apa, gue cuma kurang tidur."
Kenzie mencoba menggapai lengan Dylan. Namun, Dylan selalu menjauhkan lengannya. Ia masih terus membelakangi Kenzie, dengan isakan tangis yang masih setia terdengar.
Terjeda beberapa detik Dylan menoleh Kenzie, mengusap air matanya berkali-kali. "Gue pernah kehilangan orang yang gue sayang, dia mati karena gue." Dylan berkata sedikit tegas. Ia melanjutkan. "Gue takut lo juga kenapa-kenapa. Kalau sampai ada yang terjadi sama lo, gue enggak bisa maapin diri gue sendiri, Ken." Seberusaha mungkin Dylan menahan air matanya, tapi cairan itu tetap mengalir, Dylan kembali menangis di depan Kenzie. "Harusnya lo bilang kalau lo sakit, meskipun gue enggak punya pengalaman apapun, gue pengen bantuin lo, gue enggak mau kehilangan seseorang lagi, gue ...
"Dyl, Dylan." Kenzie menyerobot omongan Dylan yang terus mengoceh dengan air mata berjatuhan. Tangannya di genggam untuk sekedar menenangkan. Akhirnya, Dylan menoleh, mencoba menahan tangisannya, dan ia duduk di kursi samping Kenzie. "Maafin gue ya, Dyl. Gue bikin lo sekhawatir ini." Kenzie tak percaya, Dylan bahkan menangis melihat dirinya terbaring dirumah sakit karena demam. Sekarang, Kenzir merasa bersalah atas sakit yang ia tahan-tahan namun berakhir mengkhawatirkan seperti ini. "Gue enggak apa-apa, lo enggak perlu takut."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...