Setelah Agam pergi sekolah lagi, suasana rumah kembali sunyi. Meskipun, ponsel Dylan selalu berdering, karena setiap ada kesempatan pasti saja Agam akan selalu mengabari. Entah itu pesan chat, atau langsung video call.
Hari Minggu ini, Niko sudah memboking Dylan untuk main kerumahnya. Awalnya Dylan menolak, namun karena permohonan dari Niko sendiri akhirnya Dylan mengiyakan ajakan Niko. Apalagi, hari Minggu, Amanda ada dirumah, dan berangkat kerja pukul tiga sore. Dylan punya waktu untuk sekedar refreshing dari rutinitas yang sama setiap harinya.
"Dyl, nanti pulangnya jam dua, ya? Lo tau dari rumah ke tempat kerja lumayan jauh." Ujar Amanda yang kini sedang menjemur.
Dylan sibuk memakai sepatu. "Iya, lagian gue enggak bakal lama." Ujarnya.
"Yaudah, sebelum berangkat lo ngasih baju ke mas Rehan. Gue mau ngelapin badan nyokap dulu."
"Oke, gue berangkat sekarang. Niko lagi dijalan mau kesini." Kata Dylan mengambil pakaian, lalu pergi menjauihi rumah Amanda.
Sebenarnya, dari semalam jantung Dylan tidak baik-baik saja. Keringat dingin selalu datang, membuat Dylan lagi-lagi gugup. Namun, senyum kebahagiaannya tak dapat hilang. Bagaimanapun, Niko akan mengajak Dylan untuk main kerumahnya. Tentu saja ini adalah awal yang baru dari Dylan. Dulu, ketika dengan Naya Dylan hanya bisa mengajaknya ke kafe kecil. Belum pernah sama sekali Naya mengajak Dylan main kerumahnya. Mungkin saja, Naya malu berpacaran dengan Dylan yang tak berpendidikan.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali. Pintu kontrakan mas Rehan akhirnya terbuka. Wajah bangun tidur dan rambut acak-acakan bisa Dylan lihat. Kaus tanktop dan celana boxer terpampang nyata.
"Udah beres?" Tanya mas Rehan, kedua matanya menyipit karena terkena sinar matahari pagi.
"Udah, mas." Kata Dylan. "Semuanya jadi 25ribu."
Mas Rehan kembali masuk kedalam kontrakan, sekian detik ia kembali dengan menyerahkan uang sepuluh ribu tiga lembar.
"Nanti aku kasihin kembaliannya, ya. Enggak bawa uang." Ujar Dylan dengan mimik menyesal. Harusnya, Dylan siapkan uang kecil. Karena merasa terburu, Dylan tak membawa apa-apa.
"Buat kamu aja. Uang jalan ke sini." Mas Rehan tersenyum.
Di kampung ini, mas Rehan sering dibilang preman murahan. Karena memang wajahnya yang penuh dengan tindik. Dari mulai kuping, hidung, bibir, lidah dan alis. Semuanya bertindik. Banyak juga warga yang kurang suka terhadap mas Rehan, padahal mas Rehan adalah tukang ojek pengkolan yang baik kalau kita baik pada mas Rehan. Buktinya, setiap kali Dylan bepergian, mas Rehan tidak menakutkan, dia sopan untuk seukuran preman.
Setelah pamit pulang, Dylan mempercepat jalannya, karena takut Niko akan menunggu. Ketika di pertengahan jalan, ada mobil yang tiba-tiba berhenti tepat di depan Dylan.
Dylan langsung menghindar, melanjutkan larinya. Mungkin saja, orang yang menyetir barusan tidak sengaja. Dan tiba-tiba, lengan Dylan ada yang menyeret dengan kasar, Dylan berbalik untuk melihat siapa orang yang menyeret lengannya itu.
"Dari mana?" Tanya seseorang itu dengan wajah tegas.
Merasa tersakiti, Dylan menghempaskan tangannya dengan kasar. Hingga genggaman tangan terlepas. "Apaan, sih! Sakit Kenzie!"
"Lo enggak balas chat gue, lo enggak angkat telepon gue." Kata orang itu. "Gue tanya, lo dari mana, Dylan!?" Nada tinggi yang Dylan benci lagi-lagi terdengar, membuat Dylan melemparkan wajahnya dengan kesal ke arah lain. Dylan menghirup udara untuk menetralkan rasa bencinya pada orang di depan. Setelah merasa lebih baik, Dylan kembali menoleh orang itu.
"Bukan urusan lo gue dari mana!" Jawab Dylan. "Sebelumnya, makasih, lo udah bantuin gue bayarin hutang, ngijinin gue nginep dirumah lo. Tapi lama-lama gue keganggu sama sikap lo yang begini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...