Kenzie membisu di tempat.
Khawatir, bahagia, bingung mencampurnya menjadi satu. Sampai isakannya benar-benar terhenti, Dylan tak melepaskan pelukan dari Kenzie.
Dari ujung sana, ada Niko yang melihat dari awal, melihat Dylan dengan senang hati berlari dan langsung memeluk Kenzie. Padahal Dylan tau Niko kini tengah menatapnya. Namun, Dylan tidak menggubris. Seolah ia tak melakukan kesalahan apapun.
Untuk mengalihkan suasana hatinya yang tidak karuan, Niko kembali duduk bersama Danish dan Gilang, membuka ponsel dan langsung bermain game.
Entah mengapa, Niko tidak suka dengan yang Dylan lakukan.
"Dyl?" Tanya Kenzie dengan lembut.
Dylan langsung mengusap wajahnya, dan menjauhkan pelukan mereka. Lalu tersenyum pada Kenzie.
"Lo enggak apa-apa?" Mata Kenzie menembus manik hitam Dylan, khawatir.
Dylan menggeleng.
"Gue minta maaf." Kata Kenzie dengan sungguh-sungguh.
Padahal, Dylan tidak bercerita kenapa dia menangis. Namun, Kenzie masih saja meminta maaf pada Dylan. Tentu saja, mendengar ini, Dylan merasakan kenyamanan.
Untuk mengalihkan suasana, Dylan berkata. "Besok malem pak Quentin mau ketemu lo di hotel Permata jam delapan." Ujar Dylan. "Nyokap lo bilang gitu."
Kenzie mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya terlihat murung, sepertinya, Kenzie enggan untuk bertemu papa biologisnya itu.
"Gue anter." Ucap Dylan akhirnya.
Sejurus kemudian, wajah Kenzie berubah lebih bersinar, ia mengangguk dengan semangat. "Boleh, nanti gue jemput."
Dylan tersenyum, sangat lucu dengan kelakuan Kenzie yang seperti bocah.
Tiba-tiba saja, jantung Dylan berdetak semakin cepat, karena takut tergugup, Dylan berpura-pura pamit untuk mengerjakan cucian, dan Kenzie sudah duduk bersama ketiga temannya.
Dulu, memang Kenzie sempat mencoba mendekati Dylan. Bertanya pelajaran, bertanya tentang pantai, bahkan bertanya tentang nyamuk dirumah Dylan. Tentu saja, Dylan semakin risih untuk berdekatan dengan Kenzie. Setiap hari pertanyaan Kenzie sangat tidak bermutu. Padahal, Dylan sudah baik mau menjawab pertanyaan Kenzie. Namun sepertinya, Kenzie tak cukup membuat Dylan pening sendiri.
Dylan juga ingat, terakhir dia menjaga jarak yang super ketat, ketika Kenzie bertanya kecoa di rumah Dylan apakah sudah menikah semua apa belum? Kalau sudah berapa satu kecoa bisa punya anak.
Saat itu, entah Kenzie kemasukan setan atau sudah gila. Semakin hari, pertanyaannya semakin meresahkan. Dari sana, Dylan sudah menjaga jarak untuk tidak berurusan dengan Kenzie.
Dan saat ini, justru Dylan geli sendiri mengenangnya. Ia ingat, sejak saat Kenzie selalu mendatanginya dengan pertanyaan-pertanyaan. Kenzie kecil membawa kertas, lalu mendiktenya di depan Dylan. Sampai ia bertanya tentang kecoa, hewan menjijikan yang tidak Dylan sukai, karena bahan obrolan sudah tidak ada. Dan bagaimana Kenzie bisa mendekatinya, kalau ia tak bisa berbicara dengan Dylan.
Dylan tertawa mengingat Kenzie kecil yang sering diabaikannya itu.
Sore harinya, Amanda datang dengan riang gembira. Lalu, keempat pemuda menoleh Amanda yang kini tengah duduk di samping Niko. Padahal dari tadi, Niko bersikap cuek pada Amanda.
"Dyl, sini!" Teriak Amanda melambaikan tangannya.
Dylan berjalan mendekati mereka, lalu duduk disamping Amanda.
"Bokap gue jadinya besok mau pulang."
"Yah, padahal gue udah pesenin sayur lontong kesukaannya."
Amanda menyimpan tasnya di sembarang tempat. "Iya, nungguin temennya biar pulang bareng." Setelah mengatakan ini, Amanda kembali bertanya. "Eh Dyl, switernya mas Rehan biar gue anterin. Udah beres, kan?" Tanya Amanda dengan satu matanya berkedip-kedip. Dylan tentu tau isyarat mata Amanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...