"Bang Dyl!!" Teriakan yang sangat khas terdengar nyaring. Laki-laki yang memakai kaus peach dan celana jeans panjang berlari gembira. Senyum merekahnya tak hilang. Dylan yang asik menuliskan pendapatan dan pengeluaran bulan ini lantas ikut berlari untuk mendekati laki-laki yang ia kenal di sana.
Semakin dekat jarak diantara keduanya, dan pelukan penuh kedamaian terjalin sangat erat. Setelah pelukan terlepas dengan sendirinya, Dylan sibuk membolak balikan tubuh laki-laki di depan. "Wah bener, enggak ketemu beberapa bulan aja ini body tambah ngisi. Apa kabar, Gam?"
Agam Hafuza, adik laki-laki satu-satunya Amanda itu tertawa ringan mendengar penuturan Dylan. "Kabar baik bang Dyl. Gue keinget ibu terus bang. Tiap malem enggak bisa tidur."
Dylan mengangguk mengerti. "Tuh samperin, nyokap lo beres makan. Dia pasti seneng liat lo pulang."
Agam mengangguk, lalu masuk kedalam rumahnya. Kedua tas yang ia tenteng berisi penuh, entah apa di dalamnya. Namun, Dylan membantu Agam dengan membawa satu tas, dan menyimpannya di dekat sofa. Melihat Agam yang memeluk ibunya, Dylan putuskan untuk memberikan mereka ruang dengan Dylan kembali keluar dan duduk di ruangan laundry.
Agam, sapaan akrabnya kini tengah belajar di sekolah internasional. Dia mendapat beasiswa penuh kecuali kebutuhan sehari-hari. Dari mulai uang bulanan, uang buku, uang asrama semua di tanggung oleh pemerintah. Ya, Dylan sangat takjub pada Agam dengan kepintarannya.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya, Agam hanya mengandalkan uang kiriman dari Amanda, karena tak ada waktu baginya untuk bekerja paruh waktu. Setiap hari, ia harus pulang sekolah pukul empat sore, dan mengerjakan tugas ketika ia sampai asramanya.
"Bang Dyl, makasih, ya, udah ngerawat ibu." Ujar Agam mendekati Dylan yang kini tengah sibuk menuliskan tanggal pengembalian pakaian yang sudah beres.
Dylan tersenyum. "Gue enggak ngelakuin apa-apa, kok Gam. Cuma bantuin Amanda dikit doang."
Agam mengerlingkan matanya, malas. Ia sangat bosan mendengar Dylan menjawab seperti itu. "Kebiasaan lo enggak berubah, jancok! Masih ngerendah diri aja. Gue juga tau dari si Manda semua keperluan rumah diberesin." Agam tertawa dengan tengannya menyenggol lengan Dylan.
Dylan ikut tertawa seraya tangannya mencubit pinggang Agam. "Eh bangsat enggak sopan lo dari dulu ngatain gue jancok. Biarpun tinggi kita sejajar umur beda empat tahun!"
Agam tertawa menjauhkan dirinya dari cubitan Dylan.
Entah mengapa, panutan Agam untuk melangsungkan hidupnya agar lebih baik justru Dylan. Dulu, setiap kali Dylan bermain ke rumah dengan Amanda, Agam tak bisa diam. Dia selalu mengawasi Dylan dari kejauhan, kadang Agam sering membuat kegaduhan agar perhatian Dylan tertuju padanya.
Mungkin saat itu ia masih sekolah dasar. Namun sampai saat ini, perhatian Dylan padanya masih ia tunggu sampai kapanpun.
Bahasa yang lembut, uluran tangan yang halus, sukses membuat Agam betah jika semua kepenatan hidup ia curahkan pada Dylan. Laki-laki berbeda empat tahun itu adalah laki-laki sederhana, tak banyak tingkah dan selalu menasehati tanpa menyakiti. Ketika semua merundung Agam, hanya Dylan yang selalu berusaha berbicara tenang dari hati ke hati.
Dylan pernah bercerita bahwa Agam punya otak brilian. Ia bisa jadi sukses suatu saat. Dan Dylan akan melihat perjalanan kehidupan Agam dari mulai nol sampai ia berdiri di puncak. Dari sana, semangat membara Agam mulai terlihat. Ia ingin bahwa Dylan menjadi saksi perjalanan hidup seorang Agam Hafuza.
"Nanti malem, gue ajakin dinner ya bang. Udah lama kita enggak makan bareng." Agam berujar semangat. Dari dulu, ia sering di teraktir oleh Dylan. Setiap bertemu, pasti satu makanan kesukaan Agam dibawanya. Hari ini, Agam mengumpulkan uang demi bisa pulang. Ia bahkan rela hanya makan satu kali sehari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...