Pagi-pagi sekali, Dylan sudah berganti pakaian. Ia yang sudah terbiasa bangun saat fajar lebih memilih langsung mandi, menyegarkan tubuhnya yang dari kemarin belum terkena air.
Niatnya, setelah yang lain bangun, ia akan mengajak ke empat laki-laki itu untuk sarapan bersama. Dari kemarin, Dylan belum mengeluarkan uang, akan sangat canggung jika ia hanya menjadi beban.
Membereskan barang-barang yang berserakan, dari mulai melipat pakaian Gilang, mengumpulkan pakaian Danish, juga menaruh pakaian ganti milik Kenzie dan Niko. Membereskan bantal-bantal yang terbang ke lantai karena Danish yang tidur seperti gangsing, memutari ranjang hingga membuat Gilang terjatuh tanpa ia sadari.
Beres dengan semuanya, Dylan duduk sendirian menonton televisi. Mungkin, karena dari sore sudah tidur, jadi saat ini ia yang paling pertama terbangun.
Dirasa ada sesuatu yang bergetar Dylan menoleh ke belakang, tangannya meraba ke sisi-sisi sofa. Ya! Itu adalah ponselnya sendiri. Dylan lupa bahwa dari kemarin ia seharusnya memberitahukan Amanda tentang perjalanannya ke sini.
Setelah melihat layar ada lima puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Agam, dan tiga belas panggilan tak terjawab dari Amanda. Selain itu puluhan pesan mengungkapkan kekhawatiran bisa Dylan baca, siapa lagi kalau bukan dari Agam.
Dylan mencoba menghubungi Amanda, namun panggilannya tak dijawab. Dylan lupa kalau Amanda hari ini harus sekolah, dan ia tak pernah membawa ponsel saat ke sekolah. Dylan kembali menghubungi Agam. Baru saja sambungan telepon tersambung, di sebrang sana sudah menjawab.
"Bang Dylan! Lo apa-apaan, hah? Kemana aja lo? Baru bisa nelepon gue? Lo enggak tau apa gue sama si Manda hawatir! Lo dimana sekarang!?" Mendengar ini, gendang telinga Dylan nyaris terputus.
Namun, Dylan bisa merasakan kekhawatiran yang dibilang oleh Agam. Perkataannya yang selalu di lontarakan oleh Agam memang seperti itu, kalau Dylan telat mengabari. Agam memang over thingking.
Dylan mencoba menahan tawa, kalau mereka bertatap muka Agam pasti akan melotot berkacak pinggang memerahi Dylan, memikirkan itu justru Dylan geli sendiri.
"Sorry Gam, dari kemarin gue ketiduran. Gue masih di hotel, mungkin bentar lagi ke Candi Borobudur. Lo, apa kabar?"
"Lo tidur di hotel sama siapa? Sendiri, kan, bang Dyl? Enggak sama si Kenzie atau sama siapa lah, mereka itu enggak ada yang bisa di percaya, gue takut lo di apa-apain, bang. Lo sama siapa!?" Ujarnya, Agam berbicara dengan satu nafas membuat Dylan tertawa namun tidak sampai terdengar oleh Agam.
"Satu kamar berlima Gam. Kita satu kamar semuanya biar adil. Lo apaan coba, lebay banget." Akhirnya, Dylan tertawa terbahak. Dari dulu Agam selalu bertindak berlebihan. Padahal yang kelakuannya seperti anak kecil dia sendiri. Namun, sering kali Agam yang selalu melihat Dylan seperti anak kecil. Ini membuat Dylan gemas. Seperhatian itu bocah empat belas tahun terhadapnya.
Kenzie terbangun ketika mendengar seseorang tertawa lepas. Saat ia menoleh ternyata memang Dylan yang asik teleponan dengan bocah tengik itu, bahkan satu kaki Dylan menyilang, duduk dengan tenang dan satu tangannya menutupi mulutnya mencoba menahan tawa. Padahal tawanya masih menggema diruangan ini.
Dengan malas Kenzie berdiri, menendang kaki Danish karena kakinya tepat di tubuh Kenzie. Setelah menendang, Kenzie berjalan mendekati toilet, mencuci tubuhnya agar lebih segar. Mengusap-ngusap telinganya agar tidak terdengar tawa Dylan yang masih semangat. Lima belas menit Kenzie mandi, ia keluar dengan memakai handuk. Berjalan mendekati tas carier yang tersimpan di sofa, berhadapan dengan Dylan yang masih asyik berbincang-bincang dengan bocah brengsek itu.
Tenang, meskipun hati berdebar dengan cepat Kenzie berjalan melewati Dylan denga tenang. Namun, ketika melihat Kenzie yang telah selesai mandi dan handukan melewat ke arahnya, Dylan tentu sedikit terkejut.
Agam menggema di sebrang sana, namun tak di dengar oleh Dylan. Saat ini, Kenzie sedang berjongkok mengambil pakaian ganti didalam tas carier, sedetik kemudian dengan selow montion handuk itu terbuka di depan Dylan. Dylan yang melihat itu langsung berteriak, terkejut.
"Kenzie! Handuknya jatoh, itu, itu, pantat ..." Dylan menutup kedua matanya berbicara dengan heboh. Karena takut akan membuat Kenzie canggung.
"Bang Dyl lo liat apa!? Handuk siapa yang jatoh!? Pantat siapa yang lo liat? Bang, lo lagi ngapain hah sebenernya ... Tutt ... Tutt... " Dengan kejamnya Dylan menutup sambungan telepon. Dylan tau bahwa ia tidak bisa menenangkan Agam disana. Pasti saja seribu pertanyaan akan Agam lontarkan. Dengan begitu Dylan lebih memilih menutup sambungan teleponnya. Sebelum kesalah pahaman yang Agam pikirkan membuat Dylan kerepotan sendiri.
Teriakan Agam membuat Kenzie tertawa puas dengan sendirinya. Bisa ia bayangkan betapa terkejutnya Agam mendapati Dylan melihat sesuatu yang seharusnya tidak di lihat. Kenzie refleks menoleh kebelakang, melihat Dylan yang masih menutup kedua matanya dengan kedua tangan. Kemudian, Kenzie tertawa terbahak. "Gue pake kolor, kali. Masa iya gue enggak pake apa-apa." Kenzie masih tertawa seraya menggeleng.
Dengan hati-hati Dylan membuka matanya. Setelah apa yang dilihatnya benar dan Kenzie sudah memakai sweeter ia bernafas lega. "Gue takutnya lo mikir gue ini mesum." Ujar Dylan. "Lo sih, bikin gue jantungan aja."
Namun, Kenzie masih tertawa menanggapi ocehan Dylan.
Merasa dingin, Gilang yang tidur di bawah mulai menyadari kesalahannya karena tidak tidur di atas ranjang. Gilang berdiri dengan oleng, lalu kedua alisnya mengkerut menatap Dylan dan Kenzie. "Lo berdua lagi ngapain, hah? Berisik banget pagi-pagi begini." Tanya Gilang. Sejurus kemudian, Gilang melemparkan dirinya ke ranjang. Lalu kembali mendengkur halus.
Dylan dan Kenzie saling tatap, dua detik akhirnya mereka tertawa berbarengan melihat Gilang seperti itu.
"Dari kapan lo bangun, Dyl? Udah rapi aja ini kamar." Tanya Kenzie seraya memakai celana cokelat pudar semata kaki.
"Dua jam yang lalu." Jawab Dylan. "Kita mau sarapan dimana? Biar gue yang teraktir."
Kenzie menggapai sisir kecil, lalu berjalan mendekati televisi di sampingnya ada kaca yang menggantung. Seraya menyisir rambutnya Kenzie menjawab. "Paling di bawah, ada foodcourt disini." Ujar Kenzie. Setelah selesai menyisir, Kenzie mendekati Dylan lalu duduk di sampingnya. Menatap pupil hitam jernih milik Dylan dengan lembut "Nanti makan yang banyak, ya. Hari ini kita mau seru-seruan." Kenzie tersenyum. Senyum manis yang membuat Dylan juga ikut tersenyum, tanpa sadar Dylan juga mengangguk.
Tiba-tiba ponsel Dylan kembali bergetar, Dylan menoleh GamGantenk tertera dilayar. Kenzie yang melihat itu berdecih. Ia bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekati ranjang, duduk di samping Danish dan mulai membangunkan temannya itu. Sebelum benar-benar menampar pantat Danish, Kenzie berujar.
"Gue muak denger lo teleponan. Ngeganggu. Matiin ponselnya!" Titah Kenzie. Baru saja dia menyapa dengan nada yang manis, sedetik kemudian ia berkata sangat menyakitkan. Kebingungan Dylan benar-benar sudah di puncak. Perubahan suasana hati Kenzie tak bisa Dylan tebak dengan mudah.
Nyaris saja Dylan akan menjawab telepon dari Agam mencoba menjelaskan apa yang terjadi tadi sebelum Kenzie berbicara seperti itu. Dylan rejek, dan langsung menonaktifkan ponselnya.
Dylan benar-benar tidak memahami Kenzie beberapa hari ini.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story
Short StoryDylan Byantara yang kini hidup sebatang kara karena insiden mengerikan itu lebih memilih kabur dari rumahnya. Lulus SD ia pergi, dan bekerja di restoran yang sudah bangkrut. Bagaimana ia bertahan hidup? Justru teman masa kecilnya yang menyelamatkan...