9.

303 46 3
                                    

Hari ini hari Minggu, rasanya Dylan benar-benar putus asa. Sudah berapa puluh kali di tolak oleh toko-toko yang ia ajukan. Sudah banyak uang yang ia keluarkan untuk mengurus surat-surat kelengkapan melamar. Uang di ATM tinggal lima ratus ribu. Tetapi sampai sekarang, ia masih menganggur, kehidupan kedepannya terasa buntu.

Bi Mirna sedang mencuci sprei, dan Dylan sedang duduk di meja makan. Minum air putih dingin untuk menyegarkan kepalanya yang terasa pening.

Matanya menatap lurus dengan kosong, entah apa yang Dylan pikiran saat ini.

"Dylan, enggak ikut keluar sama den Kenzie?" Tanya bi Mirna yang sedang menyapu.

Dulu, awal pertemuannya dengan bi Mirna, bi Mirna selalu memanggil Dylan dengan awalan Den, katanya ia tidak sopan memanggil teman Kenzie selaku majikannya dengan langsung nama. Tetapi, setiap bi Mirna berucap den, setiap itu pula Dylan akan membantah. Mendapatkan predikat seperti itu tentu saja mustahil bagi dirinya. Dylan tahu diri.

"Enggak, bi" Dylan menggeleng. "Kenzie lagi pulang ke rumah orangtuanya dari kemarin."

Bi Mirna mengangguk dan tersenyum. "Empat tahun bi Mirna kerja dirumah den Kenzie, baru pertama kali ada temennya yang nginep disini."

Mendengar ini, Dylan membalikkan badan menoleh pada bi Mirna. Rasa penasaran yang membuncah akhirnya menemukan titik temu. Dylan bertanya "Emang bener ya, bi, yang pertama nginep dirumah Kenzie itu saya?"

Sekali lagi bi Mirna mengangguk. "Iya." Ujarnya. "Bibi enggak tau hari-hari biasa. Tapi, bibi baru liat sekarang."

Dylan menghembuskan nafasnya. Ia benar-benar merasa malu. Pasti saja Kenzie mengijinkannya untuk tinggal disini karena ia merasa simpati juga kasihan melihat Dylan yang menangis terusir waktu itu. Kenzie orang baik sebenarnya. Namun, jika terus menerus seperti itu, Dylan tidak tau sampai kapan ia menjadi beban.

Sudah beberapa hari ponsel satu-satunya harta yang Dylan punya mati. Awalnya ia kehabisan batrai sampai mati dan ketika di charger ponsel tetap tidak mau menyala. Alhasil, Dylan biarkan ponsel itu menganggur di dalam kamar. Akan sayang jika uangnya ia gunakan untuk menebus ponsel yang sudah di benarkan.

Merasa bosan hanya duduk-duduk saja, akhirnya Dylan berjalan kaki untuk menemui Amanda dirumahnya, sudah lama juga Dylan tidak bertemu Amanda.

Setelah mengetuk pintu rumahnya, terdengar langkah kaki seseorang dari dalam. Ketika pintu terbuka, Amanda riang menyambut Dylan.

"Dylan!" Ujarnya senang. "Kemana aja sih, lo? Gue wa enggak aktif-aktif. Ganti nomor?" Sebelum menjawab pertanyaannya, Amanda menarik lengan Dylan untuk masuk kedalam rumah.

"Iphone11proMax gue rusak." Ujar Dylan ketika lengannya di seret untuk masuk kedalam rumah.

Di dalam rumah ada bu Sopie, ibu Amanda yang sedang menggosok pesanan pakaian laundry.

Dylan duduk di sofa, dan bu Sopie berjalan ke arahnya seraya mengambil minuman. "Kemana aja Dylan ini? Baru main lagi kesini."

"Biasa bu, udah jadi anak orang kaya jadi sibuk." Amanda menerobos untuk menjawab asal pertanyaan ibunya.

Dylan melototi Amanda, karena apa yang Amanda katakan adalah kebohongan. "Enggak bu, saya malah masih nganggur."

Bu Sopie menoleh anaknya yang duduk mengapit Dylan untuk meminta penjelasan. Amanda yang menangkap bola mata ibunya kembali menoleh seraya menjawab. "Iya bu, si Dylan ini masih nganggur. Ponsel bututnya aja udah mati. Mustahil banget si Dylan jadi anak orang kaya." Setelah mengatakan ini Amanda tertawa terbahak. Disampingnya, Dylan juga tertawa.

"Gimana kalau Dylan bantuin ibu aja menyetrika pakaian disini?" Tanya bu Sopie.

"Emangnya boleh bu?" Seakan tak percaya Dylan balik bertanya.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang