23.

246 40 8
                                    

Nyaris menyita setengah hari, selama keperluan mereka mewawancarai tentang candi Borobudur. Dari mulai pukul delapan hingga sekarang pukul empat sore baru bisa beres. Dylan duduk-duduk di warung kecil karena terlalu lelah berjalan dan berdiri.

Ya, Dylan pikir para ke empat pemuda ini yang paling terbaik. Mereka sangat terlihat enjoy dan natural dalam bertanya. Silih berganti dengan pertanyaannya masing-masing. Bahkan, kecerdasan mereka teruji ketika mewawancarai salah satu pengunjung turis dari Brazil. Sang turis juga terlihat nyaman ngobrol nyantai dengan keempatnya, sesekali tertawa terbahak atas tanya jawab itu. Dylan wajib mengacungkan dua jempol untuk kelima siswa ini karena kepintarannya.

"Es krim cone stroberi, Dyl." Dylan menoleh seseorang yang mengirimnya es krim. Lalu tersenyum dengan tangan mengambil es krim itu. "Thanks, ya."

Danish duduk disamping Dylan, lidahnya menjilat es krim cokelat yang dipegangnya. "Panas banget hari ini."

Dylan mengangguk, menyetujui apa yang Danish katakan.

Kenzie, Niko dan Gilang sedang sibuk berfoto-foto sebagai kenangan. Awalnya, Danish juga ikutan. Mungkin, karena terlalu panas atau ia kelelahan Danish pergi menemui Dylan yang sedang duduk di atas bangku.

"Lo sama Kenzie temen deket, ya?" Tanya Danish menoleh Dylan.

Dylan yang sedang menjilat eskrim langsung menoleh sembari keningnya mengkerut. "Kenapa emangnya?"

"Yang ngasih eskrim itu si Kenzie." Ujar Danish. "Lo tau kan kalau nama panggilan si Kenzie itu kulkas berjalan?"

Merasa tak benar, Dylan menggelang bahwa ia tak tau. "Kulkas berjalan? Kok bisa?"

Danish tertawa setelah menjilat eskrimnya. "Ya bisa, Dyl." Ujarnya. "Dari dulu emang si Kenzie itu dingin. Enggak pernah keliatan deket sama yang lain kecuali sama kita bertiga." Danish menatap Dylan. "Bahkan, lagi hujan badai sekalipun kita enggak pernah di bolehin nginep dirumahnya. Tiga bulan lo di rumahnya? Bener kata Gilang, mau kiamat." Danish tertawa akhirnya.

Namun pikiran Dylan nyasar kemana-mana. Dari dulu hingga sekarang, meskipun mereka jarang bertemu Kenzie tetaplah Kenzie. Laki-laki yang pengertian dan mau membantu kepada siapapun. Belum pernah Dylan melihat Kenzie yang dingin. Justru, Kenzie itu sosok laki-laki yang hangat. Jelas sekali waktu ia menumpang dirumahnya perhatian Kenzie selalu tertuju pada Dylan. Apa benar yang diucapkan oleh Danish ini?

"Dia cuma kasihan liat gue yang nangis-nangis waktu itu, makanya dia bolehin gue numpang." Ujar Dylan mencoba membela diri. Takutnya, ada kecemburuan di antara pertemanan mereka.

"Enggak, Dyl. Lo kayaknya emang temen berharganya si Kenzie." Ujar Danish dengan sungguh-sungguh. "Tapi, gue seneng sama perubahanan suasana si Kenzie yang sekarang. Dia lebih manusiawi." Danish kembali tertawa

Diam, Dylan tak tau harus berkata apa. Dari awal menumpang sampai ia kerumah Amanda, Kenzie memang jarang terlihat dirumah. Maksudnya, mereka seatap, tapi jarang ngobrol-ngobrol berdua. Hanya saja, ah iya! Kenzie memang pernah curhat kepada Dylan tentang orang tuanya. Bahkan, Kenzie berkata hanya dirinya saja yang tau tentang perceraian bu Fara dan pak Quentin. Mereka bertiga tidak pernah tau.

Apa memang benar, Kenzie sepercaya itu pada Dylan? Padahal, dari dulu mereka baru bisa sedekat ini. Yang awalnya Kenzie terlihat tidak perduli, juga Dylan yang sengaja menjauh.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang