25.

257 38 11
                                    

Kembali malam, Dylan rebahkan badannya yang lelah. Sebelum masuk keruangan laundry Dylan menoleh bu Sopie yang sedang tertidur pulas. Lalu memberikan oleh-oleh khas Yogya pada Agam untuk mereka.

Pesanan laundry selama Dylan tidak ada lumayan banyak. Setrikaan menjadi lebih menumpuk. Dylan pikir ia harus menyicilnya agar lebih ringan. Tetapi, tubuhnya memaksa untuk rebahan. Alhasil, setelah beres mandi dan makan malam, Dylan memutuskan untuk bersiap-siap tidur.

Sesaat akan mengambil selimut, ponselnya berdering, pertanda panggilan masuk. Setelah di lihat nama Kenzie Lorenzo Quentin terpampang jelas di layar depan. Dylan menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia sangat malas untuk menjawab panggilan dari orang bipolar macam Kenzie ini. Apalagi sifat aslinya sudah keluar. Bahasa yang kasar juga tatapan menyeramkan benar-benar membuat Dylan wajib menjauhinya. Lihat saja, setelah utangnya lunas. Dylan tak akan lagi berurusan dengan Kenzie. Namun untuk sekarang ia harus menahannya.

"Ada apa?" Tanya Dylan menaikan nadanya. Ia juga tak akan tinggal diam jika Dylan di usik oleh Kenzie. Kenzie pikir, Dylan orang lemah? Oh, tentu saja tidak!

"Lagi apa?"  Ujar seseorang di sebrang sana.

"Lagi apa kek bukan urusan lo ini." Jawab Dylan mengerutkan keningnya. Untuk apa bertanya membosankan seperti itu? Basa basi yang payah!

"Lo udah mau tidur?"  Nada yang Kenzie gunakan seperti saat mereka satu rumah bersama. Kenzie yang Dylan tau adalah Kenzie dengan nada halus. Bukan bentakan seperti sebelumnya.

"Ya gue mau tidur. Besok kerjaan banyak, sorenya mau nganter chek up bu Sopie." Ujar Dylan. Anehnya, Dylan dapat menyesuaikan suasana Kenzie. Dimana Kenzie seperti orang gila, Dylan juga akan bertingkah seperti orang gila. Kalau Kenzie berbicara halus, Dylan pun akan lebih halus.

"Lo enggak chatingan sama Niko, kan, Dyl?" Tanya Kenzie. Hembusan nafasnya bisa Dylan dengar.

Nah, yang seperti ini yang Dylan tidak suka. Jadi untuk apa Kenzie memberikan ponsel padanya, kalau untuk chatingan dengan orang lain yang Dylan kenal saja, itu jadi permasalahan? Bukankah Kenzie memang tidak tulus memberikan ponselnya pada Dylan?

"Jujur aja enggak." Ujar Dylan. "Tapi emangnya gue enggak boleh komunikasi sama orang lain? Kan Niko juga udah jadi temen gue. Terus ngapain lo ngasih ponsel ini sama gue kalau buat hubungan sama orang lain aja dibatasin?" Dylan geram sekali dengan pikiran Kenzie. Sepertinya Kenzie memang anak yang anti sosial sekarang. Pintar dalam pelajaran, tapi dalam bermasyarakat sepertinya Kenzie memang tidak suka.

Diam, pembicaraan mereka terjeda beberapa detik. Namun, hembusan nafas kasar bisa Dylan dengar. "Lo boleh mau chatingan sama siapapun. Tapi jangan sama Niko sama bocah tengil itu."

Merasa geram karena Kenzie bahkan membatasi geraknya dengan Agam. Dylan terduduk dengan sendirinya, mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Kalau lo enggak tulus ngasih ponsel ini, besok gue balikin. Apaan coba, lo ngebatasin gue mau chatingan sama orang lain. Niko sama Agam itu pada baik. Beda sama lo yang pake topeng. Emang bener, lo psikopat!"

"Lo idiot! Motif mereka berdua ngedeketin lo udah jelas terbaca. Lo pura-pura tolol apa gimana, hah? Dari gue SD sampai sekarang, ketololan lo enggak ilang-ilang. Coba lo liat gue yan--"

"Bang Dylan?" Ketukan pintu dan panggilan nama bisa Dylan dengar. "Lo udah mau tidur? Gue masuk ya bang Dyl, gue mau ngomong sesuatu sama lo ni--"

"Kalau lo coba-coba berani ngebuka pintu buat biarin si Agam masuk, lo bakal tau aki-- tutt ... Tutt ..."

"Brengsek Dylan Byantara!!" Teriak Kenzie amat marah, dengan refleks ia membanting ponselnya sendiri meskipun ponsel masih terselamatkan ke ranjangnya.

Kenzie mencoba kembali menghubungi Dylan, namun dengan kejamnya Dylan merijek panggilan dari Kenzie. Tak pantang menyerah, Kenzie kembali menghubungi Dylan, kali ini ponselnya di nonaktifkan. Kenzie langsung mengacak-ngacak rambutnya dengan kesal.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang