Assalamualaikum
•
•
•
•"Assalamualaikum, Ukhti."
Zira merutuk kesal saat harus berpapasan lagi dengan pria itu. Saat ia hendak keluar dari Masjid seseorang tiba-tiba mengagetkan dirinya dengan menyapa seperti tadi. Karena tak ingin terlalu lama berduaan dengan kawan jenisnya, Zira hanya mengabaikan pria itu dengan melenggang pergi secepatnya.
Usahanya untuk menghindar ternyata tak membuahkan hasil, pria itu malah mengekorinya. Walau dengan langkahnya yang sudah ia percepat, pria itu tetap berhasil menghalauinya.
"Assalamualaikum, Ukhti!"
Mirza tiba-tiba melompat ke depan Zira yang membuat sang empu lantas terkejut.
"Walaikumsalam," jawab Zira. Gadis itu menyerong kesamping agar tak terlalu memandang ke Mirza.
"Mau kemana? Asrama? Gue antar ya!"
"Gak usah," Zira menjauhkan tubuhnya saat pria itu hendak meraih tangannya.
"Permisi," Langkah Zira kembali terhenti saat Mirza lagi-lagi menghalaunya dari depan.
Kali ini Mirza tak berkutip apapun, ia hanya memandang. Mata yang begitu indah membuat pandangannya tak bisa teralihkan. Ia tetap memandang kearah itu. Sungguh, hanya melihat dari mata saja, dia sangat terpana.
"Lo pake sihir apa?" Tak bisa ia pungkiri, ucapan itu keluar begitu saja.
Apalagi saat matanya bertemu dengan mata Zira, membuat jantungnya berdetak sangat kencang. Dia melayang dibuatnya. Namun berbeda dengan sang gadis pemilik mata yang indah itu. Zira menautkan kedua alisnya hingga sesaat kemudian ia tersadar bahwa dirinya dipandang seorang pria. Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya.
"Setiap kali kita berpapasan entah kenapa, gue selalu ingin mengikuti lo dari belakang. Gue seakan tertarik agar terus berada sama lo. Walau gue gak bisa lihat wajah lo sepenuhnya, tidak membuat gue penasaran. Justru mata lo yang buat gue suka!"
Saat Zira kembali memandanginya, Mirza terpaku. Jiwanya seperti melayang hingga ke tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang indah. Mirza tersenyum dan bahagia akan hal itu.
"Hanya karena lo mandang gue seperti itu, kok gue suka, ya? Seakan itu membuat gue candu dengan tatapan lo," lanjut Mirza.
"Gue ingin mata lo terus memandang ke gue."
Jujur Mirza mengatakan hal itu dari lubuk hatinya yang dalam. Dia tak berbohong bahwa gadis itu seakan membuatnya jatuh cinta, bahkan dari pertemuan pertama mereka, Mirza sudah menyukainya. Memang aneh, padahal banyak diluaran sana gadis yang selalu ia temui. Mengapa saat spek Ukhti sperti ini, dia kepentok.
Lantas, bagaimana dengan perasaan Zira saat ini? Gadis itu sedikit gugup. Ungkapan yang Mirza lontarkan tadi adalah hal yang pertama kali ia dengar untuknya dari seorang laki-laki.
Apakah pria itu sedang menyatakan cinta padanya?
Bisa dibilang iya! Namun, Zira tak ingin terlalu menanggapinya, gadis itu pun melangkah pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia meninggalkan Mirza yang masih saja memandanginya.
Ada sedikit kerisihan dibenak Zira saat ditatap seperti itu. Tapi, hatinya seakan ingin menyangkal agar ia menyukai pandangan Mirza padanya. Seberusaha mungkin, Zira menepis semua perasaan yang ia rasakan sekarang. Dia tak ingin terbuai dan menyukai pria nakal seperti Mirza. Lagi pula, pria itu orang baru di pesantren ini, kenapa juga dia menyukai seorang gadis seperti Zira.
Yah, Mirza adalah pria nakal, preman, pembuat masalah. Pokoknya seperti itulah dia.
°°°°
°°°°"Mau kemana kalian?!"
Tiga pria yang akan keluar dari Pesantren, membuat pertanyaan tadi harus mereka dengar. Kegiatan untuk memanjat tembok tersebut terbengkalai dengan kehadiran sosok dibelakang mereka.
Belum ada yang berani melihat kebelakang untuk melihat siapa sosok itu. Mirza, Raden dan Pico memandang nanar pada tembok dihadapannya. Lalu beberapa saat kemudian, mereka pun memberanikan diri untuk berbalik.
"Mau keluar dari pesantren lagi?"
"Kalian ini harus dihukum!"
Mirza melepaskan sebelah sandalnya, Pico sudah menggenggam batu, sedangkan Raden hanya memandang malas. Ingin rasanya mereka melempar benda yang ia pegang sekarang, pada orang yang membuatnya sempat takut tadi.
Ternyata Radit dan Sergio lah yang mengatakan hal itu, menakutinya dengan ucapan seperti Ustadz Mahmud.
"Untung lo teman gue. Kalau bukan, mulut lo sudah gue sumbat dengan sandal!" cercah Mirza.
"Kalian mau pergi gak ngajak kita? Parah. Tidak berperikeajakan!"
"Males! Yang ada, lo berdua berantem mulu. Ada apa-apa dikit aja, pasti berantem lagi!" timpal Pico.
"Ya, itu sih Radit yang duluan cari masalah!"
Mendengar dirinya dipojokkan, mata Radit sontak menajam. "Kok gue? Kan, lo duluan yang cari masalah sama gue. Mana bawa-bawa masalah lama, lagi!"
"Loh, yang kemarin rampas rokok gue buat dikasi Raden siapa? Lo! Jadi, lo emang suka cari masalah."
"Tuh, 'kan. Lo mengungkit masalah kemarin yang jelas-jelas tidak ada sangkutannya sama hal ini."
"Gue ungkit kalau masalah itu belum kelar. Jadi mumpun kita berantem, gue mau bahas lagi!"
"Lo, benar-benar, ya! Gue gak tau isi pikiran lo. Maunya berantem mulu sama gue."
"Kalau enggak sama lo, mau sama siapa?!"
Baru saja Pico menyindir hal itu, mereka berdua sudah berantem saja. Jika terus memperhatikan Sergio dan Radit, alasan utama mereka untuk keluar dari pesntren tidak akan terjadi. Bisa-bisa mereka akan terus adu mulut sampe seseorang mempergoki mereka.
"Mau ngapain lo?" tanya Pico ketika melihat Raden sudah mulai memanjat.
"Lo mau nunggu mereka selesai berantem? Yang ada kita bakal ketahuan!" jelasnya.
Mirza pun mengangguk setuju dengan ucapan Raden. Akhirnya pria itu pun ikut memanjat keatas, tak peduli dengan Sergio yang masih adu mulut dengan Radit.
"MAU KEMANA KALIAN?!"
Raihan menajamkan penglihatannya pada Mirza, Pico dan Raden yang berusaha memanjat keatas. Sedangkan Radit dan Sergio masih berada dibawah. Sudah ia simpulkan bahwa Mirza dan temannya pasti ingin keluar dari pesantren lagi.
Raihan tak habis pikir dengan kelakuan mereka yang suka keluar masuk pesantren. Jika memang tak berniat untuk ada ditempat ini, mengapa mereka memutuskan untuk tinggal atas ajakan Kyai Hasan?
Raihan menghempaskan napasnya agar bisa mengatur sahwat nya untuk tidak menimbulkan emosi yang bisa membuatnya lupa diri.
"Apa? Mau ikut? Ayo! Mumpun kita mau maling ke rumahnya pak Camat, iya, gak?" sahut Mirza pada teman-temannya.
Dahi Raihan sedikit berkerut, hingga saat itu juga dia menghembuskan napasnya pelan. "Saya tidak tau urusan penting apa yang kalian lakukan diluar. Tapi ingat, dimana lingkungan kalian saat ini," ungkapnya.
Raihan masih tetap memasang wajah datarnya lalu kembali berbicara, "Sudah masuk waktu shalat. Lebih baik ikut saya untuk mengambil wudhu kemudian mengerjalan Salat berjamaah!" sambungnya.
Tiga orang yang hampir lolos tadi kini sudah turun kembali. Tatapan elang mereka merujuk pada Radit dan Sergio. Karena ulah kedua temannya itu, mereka jadi kepergok lagi. Dan yang memergoki mereka adalah Raihan, orang yang sangat Mirza benci.
Bisa saja tadi Mirza keluar tanpa mempedulikan kehadiran Raihan. Namun, ia tak ingin berurusan dengan pria itu nantinya jika sudah kembali ke pesantren. Ada sesuatu yang terus menjanggal dipikirannya hingga ia pasrah mengikuti ucapan Raihan.
•
•
•
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...