BSS -10

157 28 1
                                    


Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatu 🤗




Typo dimana-mana!

Mirza berpikir bahwa dirinya benar-benar akan dihukum oleh Zira, nyatanya Kyai Hasan malah memberinya hukuman didepan para santri putra. Tidak ada hukuman berat, hanya rambutnya yang gondrong harus meratapi nasibnya karena bertemu dengan bibir tajam gunting.

Ya, tidak ada lagi rambut gondrong yang berpirang itu, semua rambut mereka dipotong oleh Ustadz Mahmud sebagai hukuman. Cukup kecewa karena harus memakai kopiah sepanjang hari untuk menutupi kepala mereka. Potongannya cukup rapi, tapi membuat kelima pria itu tidak pede untuk menampakkannya. Wajah mereka seperti tak selaras dengan kepala yang botak.

Cukup kecewa dengan hal itu, tapi yang paling membuat Mirza kecewa adalah saat ia juga tidak dihukum didepan Santriwati, gagal sudah niatnya untuk caper pada Zira. Sebenarnya, Mirza melihat Zira kala itu, makanya dia kembali menghadap pada Kyai Hasan dan mau menerima hukuman tersebut.

"Gak habis pikir gue sama otak lo." Pico tiba-tiba menyahut saat sudah berhadapan dengan Mirza.

"Lo kalau mau dihukum sendiri aja, gak usah ngajak kita," sambungnya.

Tak kala kesal, Radit menghempaskan tubuhnya kemudian duduk disamping Mirza  "Lo enak, kepala botak masih ganteng. Lah, gue? Udah kurus, besar kepala, tirus lagi. Udah kayak raket tennis, aja." Ia mendesah demikian.

Mirza mengalihkan pandangannya pada Raden, alisnya terangkat sedemikian rupa. "Lo, gak protes juga?" ungkapnya.

Sebenarnya Raden pun sama kesalnya, tapi kembali lagi pada sifatnya yang tidak ingin memusingkan sesuatu.

"Sudah terlanjur, mau gimana lagi?" Respon yang begitu singkat dan pasrah, itu berarti menunjukkan sifat Raden. Memang benar, ya, Raden salah pergaulan dengan mereka.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa lo tiba-tiba balik lagi dan mau nerima hukuman?" Pico bertanya.

Mirza diam ditempatnya, ia hanya menatap lurus kedepan. Wujud Zira kembali memenuhi pikirannya, dia membayangkan bagaimana gadis itu menatapnya dengan sorot yang susah dijelaskan, namun hal itulah yang membuat Mirza melayang-layang.

Bagaimana pun cara Zira memandangnya, pria itu akan selalu menyukainya. Terlalu sulit dia berhenti melupakan Zira jika sudah membayangkan seperti ini hingga ketiga temannya tampak bingung terhadap ekspresi Mirza.

"Za?" Panggilan pertama dari Pico tak membuat sang empu merespon.

"MIRZA?!" Raden menjitak kepala Mirza membuat pria tersebut langsung tersadar.

Ia tampak kebingunan dengan ekspresi yang diberikan oleh teman-temannya. Namun se-berusaha mungkin pria itu menyembunyikannya.

"Lo gak dengar pertanyaan gue tadi?" timpal Pico lagi.

"Lo nanya?" Sungguh Mirza tidak tau apa yang mereka tanyakan tadi. Bayangan Zira terus muncul diotaknya itu.

"Kenapa lo berubah pikiran terus tiba-tiba balik lagi dan terima hukuman?"

Mirza tidak langsung memberi jawaban, namun dia mendengar itu. Hanya satu alasan yang membuatnya berubah pikiran dan mau menerima hukuman Kyai Hasan.

"Tas gue berat buat dibawa pergi dari pesantren!"

Radit tampak tak paham. "Hah? Maksud lo?!"

Mirza berdecak, "males packing. Berat!" tuturnya.

Ketiga temannya sontak memicingkan mata, ia tak percaya semudah itu, pasti ada Something. Hingga beberapa saat kemudian, Mirza yang menyorotkan matanya tajam dan serius.

"Sergio dimana?"

°°°°
°°°°

"Aku kan sudah bilang, jangan temui aku! Kita tidak bisa bertemu dengan bebas seperti dulu." Suara gadis itu mulai mengecil setelah beberapa kali ia memberi peringatan terhadap cowok dihadapannya.

"Iya, maaf. Gue cuma pastiin keadaan lo sekarang!"

"Aku baik."

"Tante Nina sama Om Budi?"

Gadis itu bernapas pelan. "Mereka baik, kok."

Pria itu tersenyum lega, dia pun akhirnya pamit agar gadis itu tidak merasa khawatir dengan keadaan sekarang.

"Gio!"

Pria itu adalah Sergio. Ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik kembali setelah mendengar sang gadis memanggilnya.

"Bagaimana kabar kamu?" tanya gadis itu.

Ada rasa senang dalam hati Sergio kala gadis itu menanyakan kabarnya. Pertanyaan itu membuatnya rindu, ia ingin kembali seperti dulu, setiap hari ada orang yang selalu menanyakan kabarnya, keadaannya dan hal-hal yang menyangkut tentang dirinya.

Sergio bernapas lega lalu menatap kembali wajah gadis itu. "Gue baik, tapi gak seperti dulu," tuturnya.

Setiap orang pasti memiliki masa lalu, entah itu buruk atau baik. Tapi dalam posisi Sergio, masa lalunya adalah kehidupan yang paling baik, ia memiliki segalanya, orang tua, sahabat, dan kekasih.

Karena perceraian antara kedua orang tuanya, Sergio berubah menjadi pria seperti yang sekarang. Kehidupannya tak terurus dan tak punya tujuan, hingga akhirnya dia kembali bertemu dengan seorang gadis yang sangat ia cinta, barulah menyadarkan dirinya sejenak bahwa, pasti ada masanya ia berubah kembali.

"Syukur lah."

Gadis itu tak berbohong ketika melihat Sergio atas kehidupannya saat ini. Dia kasihan, sangat kasihan. Hidup bahagia tak lagi ia rasakan, semuanya pupus karena dua manusia yang tak punya pikiran dewasa. Orang tua Sergio lebih mementingkan ego mereka hingga tidak peduli bagaimana nasib anaknya sekarang.

"Aku pergi dulu, Assalamualaikum!" Gadis itupun akhirnya beranjak pergi karena tak ingin ada orang yang melihatnya berduaan dengan Sergio.

Sama seperti gadis itu, Sergio pun berbalik untuk segera pergi dari sana. Ada sedikit rasa lega dalam benaknya saat bertemu dengan gadisnya, tujuan hidup yang hilang terasa kembali dan membangkitkan dirinya untuk lebih baik.

"Gio!" Panggilannya sontak membuat pria itu kembali menatapnya.

"Kamu harus selalu bahagia. Aku yakin, kamu bisa menjadi orang baik lagi," ucap gadis itu.

Dalam jarak mereka tak cukup jauh dan tak cukup dekat juga, Sergio mengembangkan senyumnya. Ia mengangguk setelah mendengar tuturan dari gadis itu, ia senang bahkan sangat senang.

"Bertemu denganmu sudah membuatku bahagia, Sha."

°°°°
°°°°

"ASTAGFIRULLAHALAZIM!!"

Sudah dipastikan bahwa pekikan tersebut berasal dari mulut Ustadz Mahmud. Tak salah lagi, ia terpekik seperti itu pasti karena ulah kelima pria tak beradab itu, siapa lagi kalau bukan Mirza dan kawan-kawan.

Yap, Ustadz Mahmud mendapati mereka saat hendak keluar dari pesantren. Seperti biasa memanjat tembok mungkin adalah hal yang sakral buat mereka untuk keluar dari tempat itu.

Bukan karena tak tau dimana letak pintu utama, melainkan Mirza tidak ingin berhadapan dengan Raihan lagi nantinya.

"Sebenarnya mau kalian apa, hah?! Selalu saja keluar masuk pesantren. Mau ngapain diluar sana? Mau tawuran? Berkelahi?"

"Kembali ke kamar kalian!" Sentaknya dengan keras.

Sepertinya Ustadz Mahmud akan cepat mengalami darah tinggi jika sering emosi seperti ini. Setiap kali, bahkan setiap kesempatan pasti saja ada ulah mereka.

Sebelum benar-benar pergi dari hadapan Ustadz Mahmud, Pico berdehem sejenak lalu berkata, "Pak, pasti mantan penjual pipa air kan?" tanyanya membuat Ustadz Mahmud menyerngit bingun.

Mirza dan ketiga temannya pun bingun dengan sikap Pico.

"Itu, air lirunya merembes kemana-mana, seperti air yang mengalir deras!"

Tbc

Bukan Sekedar Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang