Assalamualaikum...•
•
•
•"Dendam adalah penjara, Cinta adalah anugrah, dan ini adalah tempat suci dimana anugrah terpenjara. Ia dekat, namun tak bisa kau pungkiri."
"Sialan!"
Mirza meremas satu kertas itu hingga menjadi bongkahan. Ia muak dengan teror yang terus mendatanginya seolah orang itu mengetahui bahwa dia sedang mencari ayahnya.
Bahkan setiap dia mendapat surat isinya tetap sama, kalimat itu lagi yang tak bisa Mirza mengerti. Pikirannya tidak bisa mencerna dengan baik, apalagi ketika membaca kalimat terakhir dari pesan tersebut. Itu berarti orang terdekatnya sekarang? Tapi siapa?
Tentang musibah kebakaran dan pembunuhan salah satu Santriwati masih menjadi misteri buat Mirza. Sayangnya malam itu, ia kehilangan jejak, tapi alisnya mengernyit kala memperhatikan penampilan orang pada malam itu.
Pelakunya bukan laki-laki melainkan seorang wanita. Ya, Mirza masih memikirkan hal itu, pelakunya pasti perempuan. Tapi siapa? Apa motifnya membunuh santri itu?
Ahh, memikirkan itu semua malah membuat pikiran Mirza kacau, belum lagi dengan teror yang sering dia terima, dan juga ayahnya.
"Za ...." Pria itu menoleh dan mendapati Raden bersama ke empat temannya.
Mirza menghembuskan napasnya, untuk saat ini mungkin sebaiknya dia tak di ganggu dulu.
"Lo dapat teror itu lagi?" tanya Pico. Ia yakin bahwa pria itu dapat teror lagi.
"Biarin gue sendiri dulu," ungkapnya dan setelah itu beranjak lah dia.
Mirza berjalan menuju tujuannya, tida peduli dengan tatapan para santri yang tidak bisa diartikan. Mirza ingin merenung sebentar, ia ingin sendiri. Dan sampailah dia di tempat itu, lingkungan belakang asrama.
Mirza mengambil benda dalam kantong celananya, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Satu satunya yang ia lakukan jika banyak pikiran seperti ini adalah merokok.
Ia menyesap rokoknya lalu mengeluarkan asap yang menggumpal, tangannya bersimpuh pada lutut kakinya yang ia lipat. Benar-benar pikirannya ambrul adul sekarang, ia ingin mengakhiri semuanya, ia ingin mengeluh pada siapa?
"Kalau lo terus merenung, masalah lo gak akan kelar. Coba lo ngadu sama Tuhan ...."
Seruan itu membuat Mirza mendongak dan menoleh pada pemilik suara tersebut.
"... Gue yakin, lo bakalan dapat petunjuk tentang keberadaan ayah lo," sambungnya.
Seketika tawa Mirza keluar begitu saja, ia tak merasa bahwa perkataan barusan harus ia dengar, malah sangat lucu kedengarannya apalagi yang mengatakan itu adalah orang yang sangat dia kenal.
"Sejak kapan lo jadi orang Saleh?" Ia mengatakan itu terhadap Sergio.
"Gak lama juga, sih. Sepertinya beberapa minggu yang lalu."
Sergio mengambil tempat disamping Mirza, mengambil bungkusan rokok itu dan ikut menyesap satu batang rokok.
"Gue kan udah bilang, gue mau sendiri. Ngapain lo ikutin gue?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...